Kamis, 21 Februari 2013

Oh, Ibu Kotaku…

USIANYA sebentar lagi 345 tahun. Seandainya ia seorang ibu, Samarinda sudah luar biasa tua. Punya banyak anak dan cucu, bahkan buyut dan cicit. 
 
Tetapi usia, bagi sebuah kota, bukanlah cermin kedewasaan. Dinamika antarperiode-lah yang menentukan rupa dan wajahnya. Jika Samarinda yang setengah abad ini berparas kusam, mungkin 10 atau 20 tahun mendatang berubah menjadi teduh, rapi, aman, dan nyaman. 
 
Mungkin. Sengaja kata “mungkin” harus diulang. Harap maklum bila kemungkinan itu masih di tahap harapan sekarang.
 
Sepanjang satu dasawarsa terakhir bahkan lebih, keluhan atas kondisi Samarinda tak pernah berhenti. Kota yang berdebu, macet, banjir, dan seperti tidak tertata. Saran dan kritik mengalir deras untuk perbaikan kota. Meskipun, tidak sederas upaya penanganannya. 

Sampai selama sepekan terakhir, ide memindahkan pusat pemerintahan dari Samarinda mencuat. Kaltim Post, media yang memberitakan wacana itu, telah menerima banyak masukan dan kritik.


WAJAH KUSAM: Sudut berdebu di Jalan KH Mas Mansyur, Samarinda, Kalimantan Timur.

Sebagai media yang mengontrol kebijakan pemerintah dan kondisi sosial, Kaltim Post tentu juga menerima kritik dan masukan itu dengan terbuka. 
 
Ada yang menyebutkan pemindahan pusat pemerintahan hanya sikap putus asa. Lari dari kenyataan bahwa masalah Samarinda tidak lagi bisa dituntaskan.
 
Sebagian lainnya mengatakan, sudah selayaknya Kaltim mengikuti jejak Kalsel yang memindahkan pusat pemerintahan provinsi dari Banjarmasin ke Banjarbaru. Masalah jauh lebih berkurang dan menciptakan perkembangan di tempat lain. 
 
Kini yang terjadi adalah Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang dan Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak sama-sama saling tunjuk. Jaang mengusulkan supaya perkantoran provinsi pindah ke Samarinda Seberang. Faroek berpendapat, Balai Kota Samarinda yang mestinya pindah.

Mana yang lebih layak? Tentu ada baiknya jika dibuat analisis dari kedua skema tadi. Misalnya dari aspek mana yang lebih banyak diakses masyarakat Samarinda, Kantor Gubernur atau Balai Kota?

Jika ternyata Balai Kota yang lebih banyak didatangi, apakah pemindahannya tidak memunculkan masalah baru? Apakah lalu-lalang orang yang ingin menuju Samarinda Seberang tidak memperparah kemacetan? Atau mungkin, pemindahan Balai Kota ke seberang justru mengurangi masalah. Dengan begitu besarnya aktivitas di perkantoran Pemkot, kepadatan di tengah kota langsung terpecah.

Ada pula opsi agar kota ini diperbaiki saja. Tidak perlu memindahkan ibu kota. Untuk opsi tersebut, analogi yang satu ini patut dipertimbangkan. Pilih mana, memperbaiki sepeda motor yang kondisinya rusak parah atau membeli yang baru?

Jika harga kedua-duanya nyaris sama, tentu mayoritas akan memilih yang baru. Lebih bergaransi dan bisa memilih model teranyar. Memang, kota tidak bisa disamakan dengan sepeda motor. Tapi hitung-hitungan biaya tetaplah sama.

Tengok saja, biaya untuk menuntaskan banjir di Samarinda yang mencapai Rp 1,4 triliun. Belum lagi menuntaskan kemacetan. Jika menghitung infrastruktur yang sedang dan akan dibangun, jumlahnya triliunan rupiah. Mulai Jembatan Mahkota II, Jembatan Kembar, jalan layang, sampai pelebaran jalan.

Untuk yang terakhir, tak hanya besaran biaya. Pembebasan lahan di dalam kota bukan main susahnya.

Bandingkan bila membangun pusat pemerintahan baru. Di Kalsel, biaya pembangunan perkantoran provinsi di Banjarbaru disebut sekitar Rp 2 triliun. Angka yang lebih kecil dibanding menuntaskan permasalahan Kota Tepian yang belum tentu cepat tertuntaskan itu. Kecuali, Samarinda benar-benar bisa seperti Surabaya, yang mampu mendandani wajahnya dengan begitu cantik, beberapa tahun belakangan.  

Kemudian, jika yang dipindah adalah pusat pemerintahan provinsi, boleh jadi Samarinda Kota punya banyak lahan kosong di tempat strategis. Di Jalan Kesuma Bangsa saja, begitu banyak jejeran kantor Pemprov. Mulai Bappeda, Dinas Kehutanan, sampai Dinas Perhubungan. Belum termasuk di Jalan Basuki Rahmat dan Jalan MT Haryono.

Jika kantor-kantor itu dipindahkan, termasuk kantor gubernur, pelebaran sejumlah jalan jelas lebih mudah. Samarinda juga punya banyak ruang untuk lahan terbuka hijaunya. Taman-taman semakin banyak di Kota Tepian. Sesuatu yang langka di masa sekarang, padahal ruang terbuka hijau sangat efektif menangkal banjir dan siraman debu.

Pembangunan kota yang terpecah ke Samarinda Seberang juga membuat pengupasan lahan di kota bisa berkurang. Konon, banyaknya lahan terbuka juga menjadi penyebab banjir; dan tentu saja debu.

Berbicara debu memang tak ada habisnya. Bagi orang luar kota yang datang, Balikpapan misalnya, debu adalah yang paling pertama menyambut. Tengok saja selepas Jembatan Mahakam di Jalan Untung Suropati dan Jalan Slamet Riyadi. Kumpulan debu seperti sudah mengendap menjadi tanah di median jalan. Membuat yang melihat bertanya, apakah jalan-jalan itu pernah disapu atau dicuci. Pemandangan begini sudah jelas tidak ada di kota mereka. Begitu pula pintu gerbang Samarinda dari arah Bontang dan Tenggarong.

Pemkot Samarinda semestinya tak perlu malu belajar kebersihan jalan kepada Balikpapan. Di Kota Minyak, setiap dini hari debu disapu dan disedot. Ada kendaraan khusus untuk itu.
Mobil tangki milik Dinas Kebersihan Balikpapan juga rajin menyemprot jalan setelah debu jalan diisap. Semua bisa dicontoh. Bahkan kalau perlu, sampai cara menyapunya.

Nyaris tak ada jalan di Balikpapan yang tidak hitam. Berbeda di Samarinda, yang bahkan daun pohon di tengah median harus berwarna cokelat diselimuti debu. Padahal, sumber air di Samarinda tak terbatas. Sungai Mahakam sudah menyediakan jika ingin menyemprot jalan setiap malam. Padahal Balikpapan saja yang air bersihnya hanya tampungan hujan di Waduk Manggar bisa, mengapa Samarinda tidak?

Tetapi mungkin juga kontur tanah Samarinda yang berbeda dari Balikpapan sehingga Kota Tepian menjadi lebih berdebu. Nah, tentu tak ada salahnya belajar ke Tenggarong. Sama-sama di tepi Sungai Mahakam, Kota Raja justru bebas debu.

Rasa-rasanya, belajar kepada dua kota ini bukan sesuatu yang sulit. Jika studi banding sampai ke luar pulau, bahkan ke luar negeri saja bisa, mengapa tidak ke tetangga sendiri?
Debu memang benda yang sangat kecil, bahkan nyaris tak terlihat. Tetapi sesungguhnya, debu adalah masalah yang sangat besar.

Ini bukan soal 40 persen penduduk Samarinda, yang menurut Dinas Kesehatan Kota, terkena infeksi saluran pernapasan atas. Debu yang menjajah pernapasan dapat menjadi preseden buruk bagi pemerintah kota. Pernahkah berpikir, bahkan untuk bernapas pun --sesuatu yang gratis diberikan Sang Pencipta-- pemerintah tidak bisa menjaminnya? Menggaransi paru-paru warga kota menikmati udara bersih?

Menuntaskan masalah debu sepantasnya menjadi prioritas bersama-sama kemacetan dan banjir. Seyogianya, pekerjaan ini masuk di butir teratas dalam senarai kerja pemerintah.
Samarinda sudah sangat memerlukan gerakan dan gebrakan. Bukan lagi imbauan dan ajakan. Gebrakan begini, beberapa tahun lalu, sudah bergaung di Surabaya dan hasilnya kini terlihat. Sekarang, di Jakarta, Gubernur Joko Widodo memulainya.

Sudah saatnya pemerintah menyiapkan rencana besar yang menyeluruh dan benar-benar menjalankannya. Jika tidak, suara-suara pemindahan pusat pemerintahan; atau bahkan ibu kota; terus dan terus mengalir.

Ya, kata orang, ibu kota lebih kejam dari ibu tiri. Tapi jangan lupa, sesama ibu, mereka pun punya perasaan. Bisa menangis manakala terlalu banyak diterlantarkan dan tak diperhatikan. Jika sudah demikian, mari hentikan tangisan ibu kota etam. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar