Nyaris Ditabrak
Iringan Jenazah, Eh, Dapat Tulisan Bagus
Banyak kisah
menarik ketika Dahlan Iskan memulai karier jurnalistiknya di Samarinda. Seorang
sahabat dekatnya, Aan R Gustam, menuturkan pengalamannya bersama Dahlan Iskan
ketika menjadi wartawan di Mingguan Mimbar Masyarakat.
AAN R GUSTAM*,
Samarinda
SUATU siang di
Samarinda pada 1976, Dahlan Iskan sedang mengendarai sepeda pancalnya. Sembari
mengayuh menuju kantornya di bibir Sungai Mahakam, Dahlan melamunkan hasil
wawancara dan berita yang akan dibuatnya.
Ketika
itu, wartawan Mimbar Masyarakat ini baru selesai mewawancarai seorang pejabat
di Balai Kota Samarinda. Di saat melintasi Jalan Diponegoro, iringan orang yang
membawa keranda berisi jenazah menuju ke arahnya.
Zikir
dari puluhan mulut yang mengiringi jenazah rupanya tidak terdengar oleh Dahlan.
Bahkan teriakan beberapa orang supaya dia menepi juga tidak didengarnya. Dahlan
tetap asyik memikirkan rencana judul dan lead
berita yang akan ditulisnya. Ketika mereka hampir berpapasan, salah seorang
yang marah mengejar Dahlan dan memepetnya sambil berteriak, “Minggir..! minggir…!”
Dahlan yang terkejut, kehilangan keseimbangan lalu terjerembab ke dalam parit
plus ditindih sepedanya.
Dahlan
kesal. Tapi ternyata dia tidak marah. “Saya malah jadi gembira dengan kejadian
itu karena akhirnya memperoleh ilham untuk sebuah tulisan,” ucapnya. “Ketika
itu, saya benar-benar sumpek karena belum punya bahan tulisan untuk rubrik
Tajuk Rencana,” ceritanya lagi. Maka, hari itu Koran Mimbar Masyarakat
menurunkan Tajuk Rencana berjudul: “Sudah
Saatnya Samarinda Punya Mobil Jenazah”.
Itu
supaya masyarakat bisa memanfaatkannya dan tidak lagi berjalan kaki mengusung
keranda di tengah keramaian lalu lintas, tulis Dahlan.
***
DAHLAN Iskan ke
Samarinda pada 1969. Usianya ketika itu masih 19 tahun. Di Kota Tepian, Dahlan
sebenarnya ingin melanjutkan studinya. Di sini, tinggal kakak perempuannya yang
menjadi guru agama.
Ternyata
kuliahnya berantakan. Dia malah asyik menggeluti dunia kewartawanan. Di Institut
Agama Islam Negeri di Samarinda, Dahlan sempat tiga tahun kuliah. Dia juga tiga
tahun belajar di Universitas 17 Agustus 1945, Samarinda. “Kalau dijumlah ‘kan
jadi 6 tahun. Jadi saya ini sarjana juga,” selorohnya.
Sekitar
tiga tahun di Samarinda, rambut Dahlan sudah gondrong. Padahal, dia keluaran
pesantren dan aktif di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) yang terkenal
militan.
Bakat
jurnalistiknya semakin menonjol ketika ia berpolemik seru dengan wartawan
senior Yunani Prawiranegara tentang rambut gondrong yang gencar dirazia aparat
keamanan. Waktu itu, Dahlan sudah menjadi wartawan di Mingguan Mimbar
Masyarakat Samarinda, pimpinan Sayid Alwy AS.
Yunani
sebenarnya guru jurnalistik Dahlan. Tapi Dahlan tidak peduli. Dalam polemik
itu, Dahlan tampil mewakili anak muda berambut gondrong yang merasa hak
azasinya dirampas. Tentu saja dia juga mewakili dirinya sendiri. Ketika Dahlan
pindah ke Surabaya, dua tahun kemudian Yunani juga ke Surabaya dan menjadi
redaktur di Surabaya Post.
***
MAJALAH Tempo
menugaskan Dahlan Iskan pindah ke Surabaya untuk menjadi Kepala Biro Jawa Timur.
Setelah mengikuti program magang Mimbar Masyarakat (Dahlan Iskan dikirim ke
Tempo selama tiga bulan), dia pun direkrut majalah tersebut.
Waktu
itu, tawaran ke Surabaya diterimanya dengan agak ragu. Ini adalah promosi luar
biasa. Dari wartawan biasa di Samarinda melejit menjadi kepala biro di Surabaya
pada 1978.
Tahun-tahun
itu, ada lima koresponden Majalah Tempo yang sangat potensial dan harus segera
diberi posisi yang memadai. Kelimanya pun akhirnya menjadi kepala biro. Mereka
adalah Putu Setia yang menjadi jadi kepala Biro Jogjakarta, Rida K Liamsi
(Riau), Sinansari Ecip (Makassar), Zakaria M Passe (Medan), dan Dahlan Iskan
(Surabaya).
Dahlan
memang berambisi meningkatkan karier jurnalistiknya. “Tapi Jawa Timur itu luas
sekali. Seluk-beluk Surabaya saja saya tidak begitu tahu. Apa bisa sukses di
sana,” kata Dahlan kepada saya. Meski Dahlan orang Jawa Timur kelahiran
Takeran, Magetan, tapi tidak pernah ke mana-mana. “Di Surabaya itu yang saya
tahu, ya Pelabuhan Tanjung Perak ketika naik kapal laut ke Samarinda,” katanya
lagi.
Sepeninggal
Dahlan ke Surabaya, saya menggantikan posisinya menjadi wartawan Majalah Tempo
di Samarinda. Karena kesibukan saya di bisnis lain, posisi itu dipercayakan
kepada Rizal Effendi (kini Wali Kota Balikpapan).
Dahlan,
sejak di Samarinda adalah sosok ulet dan pekerja sangat keras. Kalau sudah
asyik dengan pekerjaannya, dia jadi tidak peduli, bahkan terhadap dirinya.
Otaknya selalu dijejali ide-ide yang bisa muncul kapan dan di mana saja. Dari
sorot matanya yang tajam seperti tak henti-hentinya berpikir. Ia sangat mencintai
profesinya yaitu dunia pers. (bersambung)
*) Aan R Gustam
cukup lama bersama Dahlan Iskan di Surat Kabar Mimbar Masyarakat di Samarinda.
Pernah menjadi redaktur pelaksana di Surat Kabar Harian ManuntunG.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar