Jumat, 22 Februari 2013

(4) Dahlan Iskan Tempo Doeloe di Samarinda: Bakat Jurnalis

Nyaris Ditabrak Iringan Jenazah, Eh, Dapat Tulisan Bagus


Banyak kisah menarik ketika Dahlan Iskan memulai karier jurnalistiknya di Samarinda. Seorang sahabat dekatnya, Aan R Gustam, menuturkan pengalamannya bersama Dahlan Iskan ketika menjadi wartawan di Mingguan Mimbar Masyarakat.


AAN R GUSTAM*, Samarinda 


SUATU siang di Samarinda pada 1976, Dahlan Iskan sedang mengendarai sepeda pancalnya. Sembari mengayuh menuju kantornya di bibir Sungai Mahakam, Dahlan melamunkan hasil wawancara dan berita yang akan dibuatnya. 

Ketika itu, wartawan Mimbar Masyarakat ini baru selesai mewawancarai seorang pejabat di Balai Kota Samarinda. Di saat melintasi Jalan Diponegoro, iringan orang yang membawa keranda berisi jenazah menuju ke arahnya.

Zikir dari puluhan mulut yang mengiringi jenazah rupanya tidak terdengar oleh Dahlan. Bahkan teriakan beberapa orang supaya dia menepi juga tidak didengarnya. Dahlan tetap asyik memikirkan rencana judul dan lead berita yang akan ditulisnya. Ketika mereka hampir berpapasan, salah seorang yang marah mengejar Dahlan dan memepetnya sambil berteriak, “Minggir..! minggir…!” Dahlan yang terkejut, kehilangan keseimbangan lalu terjerembab ke dalam parit plus ditindih sepedanya.

Dahlan kesal. Tapi ternyata dia tidak marah. “Saya malah jadi gembira dengan kejadian itu karena akhirnya memperoleh ilham untuk sebuah tulisan,” ucapnya. “Ketika itu, saya benar-benar sumpek karena belum punya bahan tulisan untuk rubrik Tajuk Rencana,” ceritanya lagi. Maka, hari itu Koran Mimbar Masyarakat menurunkan Tajuk Rencana berjudul: “Sudah Saatnya Samarinda Punya Mobil Jenazah”. 

Itu supaya masyarakat bisa memanfaatkannya dan tidak lagi berjalan kaki mengusung keranda di tengah keramaian lalu lintas, tulis Dahlan. 


***

DAHLAN Iskan ke Samarinda pada 1969. Usianya ketika itu masih 19 tahun. Di Kota Tepian, Dahlan sebenarnya ingin melanjutkan studinya. Di sini, tinggal kakak perempuannya yang menjadi guru agama. 

Ternyata kuliahnya berantakan. Dia malah asyik menggeluti dunia kewartawanan. Di Institut Agama Islam Negeri di Samarinda, Dahlan sempat tiga tahun kuliah. Dia juga tiga tahun belajar di Universitas 17 Agustus 1945, Samarinda. “Kalau dijumlah ‘kan jadi 6 tahun. Jadi saya ini sarjana juga,” selorohnya.

Sekitar tiga tahun di Samarinda, rambut Dahlan sudah gondrong. Padahal, dia keluaran pesantren dan aktif di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) yang terkenal militan.
Bakat jurnalistiknya semakin menonjol ketika ia berpolemik seru dengan wartawan senior Yunani Prawiranegara tentang rambut gondrong yang gencar dirazia aparat keamanan. Waktu itu, Dahlan sudah menjadi wartawan di Mingguan Mimbar Masyarakat Samarinda, pimpinan Sayid Alwy AS.

Yunani sebenarnya guru jurnalistik Dahlan. Tapi Dahlan tidak peduli. Dalam polemik itu, Dahlan tampil mewakili anak muda berambut gondrong yang merasa hak azasinya dirampas. Tentu saja dia juga mewakili dirinya sendiri. Ketika Dahlan pindah ke Surabaya, dua tahun kemudian Yunani juga ke Surabaya dan menjadi redaktur di Surabaya Post.


***


MAJALAH Tempo menugaskan Dahlan Iskan pindah ke Surabaya untuk menjadi Kepala Biro Jawa Timur. Setelah mengikuti program magang Mimbar Masyarakat (Dahlan Iskan dikirim ke Tempo selama tiga bulan), dia pun direkrut majalah tersebut. 

Waktu itu, tawaran ke Surabaya diterimanya dengan agak ragu. Ini adalah promosi luar biasa. Dari wartawan biasa di Samarinda melejit menjadi kepala biro di Surabaya pada 1978.
Tahun-tahun itu, ada lima koresponden Majalah Tempo yang sangat potensial dan harus segera diberi posisi yang memadai. Kelimanya pun akhirnya menjadi kepala biro. Mereka adalah Putu Setia yang menjadi jadi kepala Biro Jogjakarta, Rida K Liamsi (Riau), Sinansari Ecip (Makassar), Zakaria M Passe (Medan), dan Dahlan Iskan (Surabaya).

Dahlan memang berambisi meningkatkan karier jurnalistiknya. “Tapi Jawa Timur itu luas sekali. Seluk-beluk Surabaya saja saya tidak begitu tahu. Apa bisa sukses di sana,” kata Dahlan kepada saya. Meski Dahlan orang Jawa Timur kelahiran Takeran, Magetan, tapi tidak pernah ke mana-mana. “Di Surabaya itu yang saya tahu, ya Pelabuhan Tanjung Perak ketika naik kapal laut ke Samarinda,” katanya lagi.

Sepeninggal Dahlan ke Surabaya, saya menggantikan posisinya menjadi wartawan Majalah Tempo di Samarinda. Karena kesibukan saya di bisnis lain, posisi itu dipercayakan kepada Rizal Effendi (kini Wali Kota Balikpapan).

Dahlan, sejak di Samarinda adalah sosok ulet dan pekerja sangat keras. Kalau sudah asyik dengan pekerjaannya, dia jadi tidak peduli, bahkan terhadap dirinya. Otaknya selalu dijejali ide-ide yang bisa muncul kapan dan di mana saja. Dari sorot matanya yang tajam seperti tak henti-hentinya berpikir. Ia sangat mencintai profesinya yaitu dunia pers. (bersambung)

*) Aan R Gustam cukup lama bersama Dahlan Iskan di Surat Kabar Mimbar Masyarakat di Samarinda. Pernah menjadi redaktur pelaksana di Surat Kabar Harian ManuntunG.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar