Jumat, 22 Februari 2013

(6-habis) Dahlan Iskan Tempo Doeloe di Samarinda: Sang Pendamping

Sama-sama Aktivis, Sama-sama Jualan Koran


Tidak lengkap mengisahkan Dahlan Iskan di Samarinda pada dekade 70-an tanpa menyebut nama Nafsiah Sabri. Perempuan asal Loa Kulu, Kutai Kartanegara ini adalah ibu dari anak-anak Pak Menteri.




AAN R GUSTAM*



PEREMPUAN yang biasa saya panggil ‘kakak’ ini setia mengikuti Dahlan dari awal kehidupan yang sangat pahit. Setelah menikah, mereka menyewa rumah sangat sederhana di Samarinda. 

Seluruh tiang rumah sewaan ini menancap di Sungai Karang Mumus, anak Sungai Mahakam. Hanya teras rumahnya yang menempel di bibir jalan raya. Tak ada perabotan memadai di rumah itu. Kasur tempat mereka tidur pun harus digulung kalau siang hari agar rumah tanpa kamar itu tetap terasa lebar. 

Nafsiah adalah seorang guru SD. Gajinya banyak menunjang kehidupan sehari-hari. Ketika lahir anak pertama mereka, Azrul Ananda --kini presiden direktur Jawa Pos, mereka bisa menyewa rumah yang ada kamarnya meski di gang sempit. 

Bagaimana keduanya bertemu? Nafsiah dan Dahlan sama-sama aktivis di Pelajar Islam Indonesia. “Bapak Rully (Azrul) itu dulu tidak bisa pacaran. Aku ini dulu yang habis-habisan yang memacari dia,” cerita Nafsiah sembari terkekeh-kekeh.

Setelah direkrut Majalah Tempo, pada akhir dekade 1970-an, Dahlan pindah ke Surabaya dan menjadi kepala biro Jawa Timur. Dahlan sering terlihat tidak sabar. Dia seperti ingin segera menggulung dunia. Majalah Tempo yang terbit sekali seminggu membuat Dahlan merasa banyak menganggur. Sementara materi berita di Jawa Timur banyak sekali.
Wartawan seproduktif Dahlan tentu gelisah. 

Diam-diam, Dahlan menulis berita untuk sebuah media di Surabaya. Bahkan berita-berita yang ditolak Tempo ia kirim ke media itu. Dia pernah ditegur Tempo dengan sikapnya. Sejak di Samarinda, keinginan Dahlan memiliki koran harian memang besar sekali.

PASANGAN HIDUP: Nafsiah (kedua kiri), istri Dahlan Iskan. Asli orang Kaltim. (FOTO: JAWA POS)



AWAL MULA JAWA POS

Potensi dan semangat Dahlan inilah yang menjadi salah satu pertimbangan manajemen Tempo membeli harian Jawa Pos. Dengan modal awal Rp 40 juta, lima redaktur potensial, 5.000 eksemplar oplah tiap hari, ditambah spirit dan optimisme tinggi, pada awal dekade 1980-an Dahlan bergerak menjajakan Jawa Pos dengan manajemen baru. 

Ketika Jawa Pos terus merangkak naik, Dahlan menawari saya membantu menangani di Malang, Jawa Timur. Dengan banyak pertimbangan, saya memilih sekaligus membujuk Dahlan mendirikan harian di Kaltim. Tentu permintaan saya ini bukan hal yang mudah karena Jawa Pos masih perlu investasi besar. Ketika itu, Kaltim memang masih belum diperhitungkan dari segi bisnis surat kabar. Tapi dengan iktikad baik dan ingin membalas budi kepada masyarakat Kaltim, Dahlan akhirnya bersedia mendirikan surat kabar harian yang akhirnya diberi nama ManuntunG pada 1988. 

Toh, keputusan Dahlan itu tidak salah. Dari seluruh anak perusahaan Jawa Pos, media yang kini bernama Kaltim Post itu merupakan perusahaan paling sukses.

Kembali ke Nafsiah, pada tahun-tahun pertama Dahlan menangani Jawa Pos, istrinya itu selalu bolak-balik dari rumah ke kantor membawakan baju ganti dan makanan. Dahlan seringkali tidak sempat pulang. Biarpun ketika itu sudah punya mobil, Nafsiah tidak bisa memakai mobil itu dengan leluasa karena dipakai mengangkut koran Jawa Pos

Selain itu, Nafsiah diminta Dahlan menjadi agen Jawa Pos untuk daerah Rungkut Tenggilis Mejoyo, tempat tinggal mereka. Selesai salat subuh, Nafsiah nongkrong di teras, melipat dan menghitung jumlah koran.

Nafsiah sebenarnya ingin kembali mengajar di sekolah, tapi Dahlan tidak mengizinkan. Bahkan perempuan ini tidak bisa lagi menemukan ijazah dan surat-surat penting lainnya. Ketika ijazah itu ia tanyakan kepada Dahlan.  Jawaban Dahlan, “Sudah saya bakar.” Tapi Nafsiah tidak yakin suami yang dipanggilnya dengan sebutan ‘Bapak Rully (Azrul)’ itu telah membakar ijazahnya. Curiganya, surat-surat penting Nafsiah hanya disembunyikan,” tuturnya.

Meski bersuara lantang dan tegas, perempuan kelahiran Samarinda ini tetap lembut, humoris, dan penuh perhatian. Saat Dahlan hendak turun kerja, ia seringkali memanggil dan mengejar Dahlan sampai ke pekarangan rumah untuk sekadar membetulkan kerah baju yang tidak teratur. Kadang, dia menyisir rambut Dahlan yang awut-awutan. Saya pernah berseloroh, “Untung saja Mas Dahlan tidak pakai sepatu. Kalau tidak, kakak harus tambah kerjaan ekstra, membetulkan tali sepatunya.”

Sampai mereka menempati rumah lumayan bagus di Rungkut, Surabaya, memperhatikan kerapian Dahlan itu tetap dilakukan. Tentu tidak ada seorang pun yang melebihi kecemasan Nafsiah ketika diputuskan hati Dahlan harus diganti karena serangan kanker yang ganas. Dan alhamdulillah, semuanya berjalan baik.

Berbekal keuletan, ketabahan, keteguhan dan kesabaran hati, tidak berlebihan kalau saya sebut Nafsiah merupakan salah satu faktor sangat penting dalam menentukan sukses Dahlan Iskan. 

Di luar itu, sebagai perempuan Nafsiah acapkali digoda rasa cemburu. Maklum, Dahlan adalah sosok yang populer bak selebriti. Namun dengan iman dan pemikiran muslimahnya, Nafsiah mampu mengatasi goncangan perasaannya.

TIDAK BERUBAH

Membesarkan Jawa Pos bagi Dahlan tidaklah mulus-mulus amat. Koran ini beberapa kali didemo masyarakat disebabkan pemberitaannya. Dari beberapa demo, Dahlan menemukan kesamaan yang aneh. Ia kemudian menceritakan kembali demo-demo yang terjadi di kantor redaksi Jawa Pos

Pertama Jawa Pos didatangi pengunjuk rasa karena berita penghapusan ‘becak’ di Surabaya. Kedua, didemo karena berita soal ‘babi’. Kemudian didemo lagi oleh ‘banser’ karena berita tentang Gus Dur. Selain itu, Dahlan tidak pernah sukses menangani ‘bola’ ketika menjadi manajer Mitra Surabaya. “Saya ini sepertinya tidak begitu cocok menangani persoalan yang diawali huruf B,” candanya.

Rasanya tidak berlebihan jika saya menyebut Dahlan ‘autodidak brilian bertangan dingin’. Sukses yang dicapainya hingga sekarang merupakan jerih payah keuletan, ketekunan, kejujuran, dan nasib baik. 

Meski Dahlan sudah jadi orang sukses dan penting secara nasional, penampilan dan karakternya tidak banyak berubah. Komitmen moralnya terhadap orang kecil tetap konsisten. Di usianya yang sudah 61 tahun, dengan tanggung jawab pekerjaan yang makin luas, Dahlan tetap pekerja keras dan produktif menulis. 

Kepada teman-temannya di daerah yang dulu dibinanya menjadi wartawan, ia tetap hangat kalau bertemu. Saya kira, tidak banyak yang berubah dari Dahlan, kecuali dua hal: isi dompet dan status sosialnya. (***)


*) Aan R Gustam cukup lama bersama Dahlan Iskan di Surat Kabar Mimbar Masyarakat di Samarinda. Pernah menjadi redaktur pelaksana di Surat Kabar Harian ManuntunG.

(5) Dahlan Iskan Tempo Doeloe di Samarinda: Kesederhanaan

Jaket Biru, Kacamata Hitam yang Kebesaran, dan Sepeda Motor Butut


Dahlan Iskan adalah sebuah kesederhanaan. Tanpa embel-embel ini itu, dia dikenal sebagai jurnalis yang menggunakan sesuatu seperlunya. Dahlan adalah Dahlan.


AAN R GUSTAM*

WARTAWAN muda ini dikenal urakan dan sekenanya dalam penampilan sehari-hari. Begitulah Dahlan sejak jadi wartawan Mimbar Masyarakat di dekade 70-an di Samarinda.
Kecuali pada acara sangat resmi, ke mana-mana dia gemar memakai sandal kulit. Kalau sekarang Dahlan memakai sepatu kets, itu merupakan suatu peningkatan. Diingatkan beberapa pejabat agar pakaiannya menyesuaikan jika ke Kantor Gubernur atau Balai Kota, itu sudah biasa. Tapi Dahlan adalah Dahlan.

Meski begitu, Dahlan hampir tidak pernah memakai baju kaus apalagi kaus oblong dalam bertugas. Ia gemar mengenakan baju safari ala pejabat penting. Jadi bisa dibayangkan penampilan Dahlan, berbaju safari tetapi bersandal kulit. Jika ditanya alasannya, ternyata bukan untuk gagah-gagahan mau dianggap sebagai orang penting. “Safari ini ‘kan kantongnya ada empat. Jadi saya mudah menyimpan kamera, buku catatan, pulpen dan bahkan kertas-kertas,” terang dia. Dahlan memang tidak biasa membawa tas seperti umumnya para wartawan.

Seingat saya, selain kamera poket, ada tiga barang lain yang sangat disayangi Dahlan. Dalam menjalankan tugas jurnalistik, ketiga barang ini selalu dia bawa. Ketiganya adalah jaket kain berwarna biru yang di bagian belakang ada tulisan Institut Teknologi Bandung (ITB). 

Kedua, kacamata hitam besar yang sama sekali tidak pas dengan bentuk mukanya yang tirus itu. Ketiga, benda sangat vital, yaitu sepeda motor bebek butut warna abu-abu kombinasi hitam.

Jaket ITB yang oleh anak-anak muda biasa disebut hudi itu (karena ada kain penutup kepala di bagian belakang), didapat Dahlan dari seorang teman wartawan Majalah Tempo. Dahlan sangat bangga dengan jaket itu. Ketika saya mengunjungi rumah kontrakannya di Gubeng Kertajaya yang berdinding gedek (anyaman bambu) beberapa bulan setelah dia pindah ke Surabaya, jaket itu masih ada tapi lusuh sekali. Kehilangan warna. 

Tapi kacamata besar hitamnya hilang. Tertinggal di sebuah kantor ketika dia mewawancarai seorang sumber di Samarinda.

Yang saya tidak habis pikir, dia sangat menyesali kehilangan itu. Dia selalu mengingatnya bak kehilangan kacamata mahal bermerek. Padahal, itu kacamata murah yang dia beli di pedagang kaki lima. Beberapa kali dia bilang pada saya seakan minta pendapat. “Sayang ya, padahal bagus,” ucapnya. 

Tapi saya tak pernah berkomentar karena kacamata itu memang jelek sekali dan sangat tidak cocok dengan wajahnya. Bayangkan saja, Dahlan harus ekstra-sibuk membetulkan posisi kacamata bila ia sedang memakainya. Kacamata hitam itu kebesaran dan kedodoran.
Kemudian sepeda motor bebek. Kendaraan ini dibeli dari hasil keuntungan Mimbar Masyarakat yang terbit dari mingguan menjadi harian selama sepuluh hari. 

Pada 1976, Samarinda menjadi tuan rumah MTQ tingkat nasional. Kami bertiga, redaktur di koran itu, yakni saya, Dahlan dan Ibrahimsyah Rahman (sekarang redaktur di Harian Kompas), bersepakat meningkatkan penerbitan menjadi harian selama berlangsungnya kegiatan musbaqah.

Keuntungan dari terbit harian itu sekitar Rp 600 ribu lalu dibelikan sepeda motor bebek bekas merek Honda. Karena Dahlan paling senior dan dia di posisi redaktur pelaksana, dialah yang menggunakannya. Setelah beberapa bulan, motor itu ngadat. Setelah diusut, ternyata bukan bensin yang habis tapi oli mesin. Rupanya Dahlan tidak pernah memeriksa oli mesin. Bayangkan, ketika mesin dibuka, pelumasnya hanya tinggal beberapa sendok.

Sebelum Dahlan ke Surabaya, motor bebek ini ditahan polisi di Samarinda karena surat-suratnya juga tidak beres alias tidak pernah diurus. Beberapa kali Dahlan sempat menelepon dari Surabaya agar motor itu diurus tapi tidak ada yang mau mengurusnya. Begitulah, nasib sepeda motor Dahlan. Berakhir menyedihkan di kantor polisi.

***

DAHLAN tidak pernah bercita-cita yang muluk-muluk. Kehidupan dan kariernya menggelinding begitu saja. Yang di benaknya hanyalah bekerja, bekerja, dan bekerja dengan baik. Kegigihannya menggebrak masa depan. Dia tidak perlu moto atau kata-kata mutiara seperti dimiliki kebanyakan orang-orang sukses. 

Selain orang tua dan istrinya, orang yang paling dihormati Dahlan adalah guru mengajinya dan Mas Gun (Goenawan Mohammad, bos Dahlan di Majalah Tempo). Mas Gun bagi Dahlan adalah panutan. Baik dalam ilmu jurnalistik maupun moralitas. Kesederhanaan kehidupan yang dilakoni Dahlan pun banyak diperolehnya dari Mas Gun.

Dan media massa yang paling keras mengharamkan wartawannya menerima uang atau bingkisan saat bertugas adalah Majalah Tempo. Awal di Majalah Tempo. Dahlan pernah diuji diam-diam oleh media itu dalam masalah menerima amplop dari sumber berita. Dan dia lulus dalam ujian itu. 

Rasa hormat Dahlan terhadap Mas Gun dalam kesederhanaan bisa ketika Dahlan sudah menangani Jawa Pos. Pada saat oplahnya sudah 200 ribu eksemplar, Jawa Pos punya kantor perwakilan bagus di Jakarta serta dua anak perusahaan pers, Cahaya Siang di Manado dan Kaltim Post di Balikpapan. 

Jam terbang Dahlan semakin tinggi. Namun turun-naik pesawat terbang, Dahlan tetap bersandal kulit atau sepatu kets serta menenteng kantong plastik. Itu tempat menyimpan beberapa lembar pakaian. Seorang kolega bisnis yang acap memperhatikan sikap Dahlan ini menegurnya.

 “Sudah jadi bos surat kabar, Anda kok masih bawa kantong plastik. Pakai tas hitam, dong,” kata koleganya itu. Dahlan tersenyum dan menjawab, “Ini juga cukup. Enggak enak sama Mas Gun.” Begitulah dia. Dahlan adalah Dahlan. (bersambung)


*) Aan R Gustam cukup lama bersama Dahlan Iskan di Surat Kabar Mimbar Masyarakat di Samarinda. Pernah menjadi redaktur pelaksana di Surat Kabar Harian ManuntunG.
 

(4) Dahlan Iskan Tempo Doeloe di Samarinda: Bakat Jurnalis

Nyaris Ditabrak Iringan Jenazah, Eh, Dapat Tulisan Bagus


Banyak kisah menarik ketika Dahlan Iskan memulai karier jurnalistiknya di Samarinda. Seorang sahabat dekatnya, Aan R Gustam, menuturkan pengalamannya bersama Dahlan Iskan ketika menjadi wartawan di Mingguan Mimbar Masyarakat.


AAN R GUSTAM*, Samarinda 


SUATU siang di Samarinda pada 1976, Dahlan Iskan sedang mengendarai sepeda pancalnya. Sembari mengayuh menuju kantornya di bibir Sungai Mahakam, Dahlan melamunkan hasil wawancara dan berita yang akan dibuatnya. 

Ketika itu, wartawan Mimbar Masyarakat ini baru selesai mewawancarai seorang pejabat di Balai Kota Samarinda. Di saat melintasi Jalan Diponegoro, iringan orang yang membawa keranda berisi jenazah menuju ke arahnya.

Zikir dari puluhan mulut yang mengiringi jenazah rupanya tidak terdengar oleh Dahlan. Bahkan teriakan beberapa orang supaya dia menepi juga tidak didengarnya. Dahlan tetap asyik memikirkan rencana judul dan lead berita yang akan ditulisnya. Ketika mereka hampir berpapasan, salah seorang yang marah mengejar Dahlan dan memepetnya sambil berteriak, “Minggir..! minggir…!” Dahlan yang terkejut, kehilangan keseimbangan lalu terjerembab ke dalam parit plus ditindih sepedanya.

Dahlan kesal. Tapi ternyata dia tidak marah. “Saya malah jadi gembira dengan kejadian itu karena akhirnya memperoleh ilham untuk sebuah tulisan,” ucapnya. “Ketika itu, saya benar-benar sumpek karena belum punya bahan tulisan untuk rubrik Tajuk Rencana,” ceritanya lagi. Maka, hari itu Koran Mimbar Masyarakat menurunkan Tajuk Rencana berjudul: “Sudah Saatnya Samarinda Punya Mobil Jenazah”. 

Itu supaya masyarakat bisa memanfaatkannya dan tidak lagi berjalan kaki mengusung keranda di tengah keramaian lalu lintas, tulis Dahlan. 


***

DAHLAN Iskan ke Samarinda pada 1969. Usianya ketika itu masih 19 tahun. Di Kota Tepian, Dahlan sebenarnya ingin melanjutkan studinya. Di sini, tinggal kakak perempuannya yang menjadi guru agama. 

Ternyata kuliahnya berantakan. Dia malah asyik menggeluti dunia kewartawanan. Di Institut Agama Islam Negeri di Samarinda, Dahlan sempat tiga tahun kuliah. Dia juga tiga tahun belajar di Universitas 17 Agustus 1945, Samarinda. “Kalau dijumlah ‘kan jadi 6 tahun. Jadi saya ini sarjana juga,” selorohnya.

Sekitar tiga tahun di Samarinda, rambut Dahlan sudah gondrong. Padahal, dia keluaran pesantren dan aktif di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) yang terkenal militan.
Bakat jurnalistiknya semakin menonjol ketika ia berpolemik seru dengan wartawan senior Yunani Prawiranegara tentang rambut gondrong yang gencar dirazia aparat keamanan. Waktu itu, Dahlan sudah menjadi wartawan di Mingguan Mimbar Masyarakat Samarinda, pimpinan Sayid Alwy AS.

Yunani sebenarnya guru jurnalistik Dahlan. Tapi Dahlan tidak peduli. Dalam polemik itu, Dahlan tampil mewakili anak muda berambut gondrong yang merasa hak azasinya dirampas. Tentu saja dia juga mewakili dirinya sendiri. Ketika Dahlan pindah ke Surabaya, dua tahun kemudian Yunani juga ke Surabaya dan menjadi redaktur di Surabaya Post.


***


MAJALAH Tempo menugaskan Dahlan Iskan pindah ke Surabaya untuk menjadi Kepala Biro Jawa Timur. Setelah mengikuti program magang Mimbar Masyarakat (Dahlan Iskan dikirim ke Tempo selama tiga bulan), dia pun direkrut majalah tersebut. 

Waktu itu, tawaran ke Surabaya diterimanya dengan agak ragu. Ini adalah promosi luar biasa. Dari wartawan biasa di Samarinda melejit menjadi kepala biro di Surabaya pada 1978.
Tahun-tahun itu, ada lima koresponden Majalah Tempo yang sangat potensial dan harus segera diberi posisi yang memadai. Kelimanya pun akhirnya menjadi kepala biro. Mereka adalah Putu Setia yang menjadi jadi kepala Biro Jogjakarta, Rida K Liamsi (Riau), Sinansari Ecip (Makassar), Zakaria M Passe (Medan), dan Dahlan Iskan (Surabaya).

Dahlan memang berambisi meningkatkan karier jurnalistiknya. “Tapi Jawa Timur itu luas sekali. Seluk-beluk Surabaya saja saya tidak begitu tahu. Apa bisa sukses di sana,” kata Dahlan kepada saya. Meski Dahlan orang Jawa Timur kelahiran Takeran, Magetan, tapi tidak pernah ke mana-mana. “Di Surabaya itu yang saya tahu, ya Pelabuhan Tanjung Perak ketika naik kapal laut ke Samarinda,” katanya lagi.

Sepeninggal Dahlan ke Surabaya, saya menggantikan posisinya menjadi wartawan Majalah Tempo di Samarinda. Karena kesibukan saya di bisnis lain, posisi itu dipercayakan kepada Rizal Effendi (kini Wali Kota Balikpapan).

Dahlan, sejak di Samarinda adalah sosok ulet dan pekerja sangat keras. Kalau sudah asyik dengan pekerjaannya, dia jadi tidak peduli, bahkan terhadap dirinya. Otaknya selalu dijejali ide-ide yang bisa muncul kapan dan di mana saja. Dari sorot matanya yang tajam seperti tak henti-hentinya berpikir. Ia sangat mencintai profesinya yaitu dunia pers. (bersambung)

*) Aan R Gustam cukup lama bersama Dahlan Iskan di Surat Kabar Mimbar Masyarakat di Samarinda. Pernah menjadi redaktur pelaksana di Surat Kabar Harian ManuntunG.