Sama-sama Aktivis, Sama-sama Jualan Koran
Tidak lengkap mengisahkan Dahlan Iskan di Samarinda pada dekade 70-an tanpa menyebut nama Nafsiah Sabri. Perempuan asal Loa Kulu, Kutai Kartanegara ini adalah ibu dari anak-anak Pak Menteri.
AAN R GUSTAM*
PEREMPUAN yang biasa saya
panggil ‘kakak’ ini setia mengikuti Dahlan dari awal kehidupan yang sangat
pahit. Setelah menikah, mereka menyewa rumah sangat sederhana di Samarinda.
Seluruh
tiang rumah sewaan ini menancap di Sungai Karang Mumus, anak Sungai Mahakam.
Hanya teras rumahnya yang menempel di bibir jalan raya. Tak ada perabotan
memadai di rumah itu. Kasur tempat mereka tidur pun harus digulung kalau siang
hari agar rumah tanpa kamar itu tetap terasa lebar.
Nafsiah
adalah seorang guru SD. Gajinya banyak menunjang kehidupan sehari-hari. Ketika lahir
anak pertama mereka, Azrul Ananda --kini presiden direktur Jawa Pos, mereka
bisa menyewa rumah yang ada kamarnya meski di gang sempit.
Bagaimana
keduanya bertemu? Nafsiah dan Dahlan sama-sama aktivis di Pelajar Islam
Indonesia. “Bapak Rully (Azrul) itu dulu tidak bisa pacaran. Aku ini dulu yang
habis-habisan yang memacari dia,” cerita Nafsiah sembari terkekeh-kekeh.
Setelah
direkrut Majalah Tempo, pada akhir
dekade 1970-an, Dahlan pindah ke Surabaya dan menjadi kepala biro Jawa Timur. Dahlan
sering terlihat tidak sabar. Dia seperti ingin segera menggulung dunia. Majalah Tempo yang terbit sekali seminggu
membuat Dahlan merasa banyak menganggur. Sementara materi berita di Jawa Timur
banyak sekali.
Wartawan
seproduktif Dahlan tentu gelisah.
Diam-diam, Dahlan menulis berita untuk sebuah
media di Surabaya. Bahkan berita-berita yang ditolak Tempo ia kirim ke media itu. Dia pernah ditegur Tempo dengan sikapnya. Sejak di
Samarinda, keinginan Dahlan memiliki koran harian memang besar sekali.
PASANGAN HIDUP: Nafsiah (kedua kiri), istri Dahlan Iskan. Asli orang Kaltim. (FOTO: JAWA POS) |
AWAL MULA JAWA
POS
Potensi
dan semangat Dahlan inilah yang menjadi salah satu pertimbangan manajemen Tempo membeli harian Jawa Pos. Dengan modal awal Rp 40 juta, lima
redaktur potensial, 5.000 eksemplar oplah tiap hari, ditambah spirit dan optimisme
tinggi, pada awal dekade 1980-an Dahlan bergerak menjajakan Jawa Pos dengan manajemen baru.
Ketika
Jawa Pos terus merangkak naik, Dahlan
menawari saya membantu menangani di Malang, Jawa Timur. Dengan banyak
pertimbangan, saya memilih sekaligus membujuk Dahlan mendirikan harian di Kaltim.
Tentu permintaan saya ini bukan hal yang mudah karena Jawa Pos masih perlu investasi besar. Ketika itu, Kaltim memang masih
belum diperhitungkan dari segi bisnis surat kabar. Tapi dengan iktikad baik dan
ingin membalas budi kepada masyarakat Kaltim, Dahlan akhirnya bersedia mendirikan
surat kabar harian yang akhirnya diberi nama ManuntunG pada 1988.
Toh,
keputusan Dahlan itu tidak salah. Dari seluruh anak perusahaan Jawa Pos, media yang kini bernama Kaltim Post itu merupakan perusahaan
paling sukses.
Kembali
ke Nafsiah, pada tahun-tahun pertama Dahlan menangani Jawa Pos, istrinya itu selalu bolak-balik dari rumah ke kantor
membawakan baju ganti dan makanan. Dahlan seringkali tidak sempat pulang. Biarpun
ketika itu sudah punya mobil, Nafsiah tidak bisa memakai mobil itu dengan
leluasa karena dipakai mengangkut koran Jawa
Pos.
Selain
itu, Nafsiah diminta Dahlan menjadi agen Jawa
Pos untuk daerah Rungkut Tenggilis Mejoyo, tempat tinggal mereka. Selesai salat
subuh, Nafsiah nongkrong di teras, melipat dan menghitung jumlah koran.
Nafsiah
sebenarnya ingin kembali mengajar di sekolah, tapi Dahlan tidak mengizinkan.
Bahkan perempuan ini tidak bisa lagi menemukan ijazah dan surat-surat penting
lainnya. Ketika ijazah itu ia tanyakan kepada Dahlan. Jawaban Dahlan, “Sudah saya bakar.” Tapi Nafsiah
tidak yakin suami yang dipanggilnya dengan sebutan ‘Bapak Rully (Azrul)’ itu telah
membakar ijazahnya. Curiganya, surat-surat penting Nafsiah hanya disembunyikan,”
tuturnya.
Meski
bersuara lantang dan tegas, perempuan kelahiran Samarinda ini tetap lembut,
humoris, dan penuh perhatian. Saat Dahlan hendak turun kerja, ia seringkali
memanggil dan mengejar Dahlan sampai ke pekarangan rumah untuk sekadar
membetulkan kerah baju yang tidak teratur. Kadang, dia menyisir rambut Dahlan
yang awut-awutan. Saya pernah berseloroh, “Untung saja Mas Dahlan tidak pakai
sepatu. Kalau tidak, kakak harus tambah kerjaan ekstra, membetulkan tali
sepatunya.”
Sampai
mereka menempati rumah lumayan bagus di Rungkut, Surabaya, memperhatikan
kerapian Dahlan itu tetap dilakukan. Tentu tidak ada seorang pun yang melebihi
kecemasan Nafsiah ketika diputuskan hati Dahlan harus diganti karena serangan
kanker yang ganas. Dan alhamdulillah, semuanya berjalan baik.
Berbekal
keuletan, ketabahan, keteguhan dan kesabaran hati, tidak berlebihan kalau saya
sebut Nafsiah merupakan salah satu faktor sangat penting dalam menentukan
sukses Dahlan Iskan.
Di
luar itu, sebagai perempuan Nafsiah acapkali digoda rasa cemburu. Maklum,
Dahlan adalah sosok yang populer bak selebriti. Namun dengan iman dan pemikiran
muslimahnya, Nafsiah mampu mengatasi goncangan perasaannya.
TIDAK BERUBAH
Membesarkan
Jawa Pos bagi Dahlan tidaklah
mulus-mulus amat. Koran ini beberapa kali didemo masyarakat disebabkan
pemberitaannya. Dari beberapa demo, Dahlan menemukan kesamaan yang aneh. Ia
kemudian menceritakan kembali demo-demo yang terjadi di kantor redaksi Jawa Pos.
Pertama
Jawa Pos didatangi pengunjuk rasa karena
berita penghapusan ‘becak’ di Surabaya. Kedua, didemo karena berita soal ‘babi’.
Kemudian didemo lagi oleh ‘banser’ karena berita tentang Gus Dur. Selain itu,
Dahlan tidak pernah sukses menangani ‘bola’ ketika menjadi manajer Mitra
Surabaya. “Saya ini sepertinya tidak begitu cocok menangani persoalan yang
diawali huruf B,” candanya.
Rasanya
tidak berlebihan jika saya menyebut Dahlan ‘autodidak brilian bertangan dingin’.
Sukses yang dicapainya hingga sekarang merupakan jerih payah keuletan,
ketekunan, kejujuran, dan nasib baik.
Meski
Dahlan sudah jadi orang sukses dan penting secara nasional, penampilan dan
karakternya tidak banyak berubah. Komitmen moralnya terhadap orang kecil tetap
konsisten. Di usianya yang sudah 61 tahun, dengan tanggung jawab pekerjaan yang
makin luas, Dahlan tetap pekerja keras dan produktif menulis.
Kepada
teman-temannya di daerah yang dulu dibinanya menjadi wartawan, ia tetap hangat
kalau bertemu. Saya kira, tidak banyak yang berubah dari Dahlan, kecuali dua
hal: isi dompet dan status sosialnya. (***)
*) Aan R Gustam
cukup lama bersama Dahlan Iskan di Surat Kabar Mimbar Masyarakat di Samarinda.
Pernah menjadi redaktur pelaksana di Surat Kabar Harian ManuntunG.