Demonstrasi Malari dan Berkenalan dengan Dunia Jurnalistik
Awam
diketahui bahwa bekas bos besar Jawa Pos Group yang kini Menteri BUMN, Dahlan
Iskan, juga seorang jurnalis. Sebuah profesi yang mulai ditekuninya ketika
kuliah di Samarinda. Bagaimana cerita lampau si tokoh yang bahkan kuliahnya tak
lulus itu di Kota Tepian? Kaltim Post menguliknya lewat penuturan sumber yang
dahulu dekat dengan Sang Menteri.
PEMUDA
yang agak ceking itu mengenakan paduan celana kain dan kaus berkerah yang
menutupi sebagian kulit sawo matangnya. Tatapan mata tajam tersorot dari wajah
bulatnya. Sedikit tirus, tonjolan tulang di kedua pipinya kokoh di bawah kening
yang tertutup poni.
Telapak
kakinya yang mengenakan sandal pelan-pelan melangkah ke seorang yang lebih tua.
Sayid Alwy AS, demikian orang yang sedang didekati pemuda itu. Badan Alwy besar
dan tegap. Kumisnya tebal dan kulitnya agak gelap.
Di
sebuah kantor surat kabar di Samarinda pada Februari 1974, pria yang didekati
itu sadar. Sejurus kemudian dia menyapa si pemuda, “Eh, Lan, apa kabar?”
Pemuda
bernama Dahlan Iskan itu tak segera menjawab. Tetapi dari rautnya, ada sesuatu
yang hendak disampaikan. Setelah beberapa lama dia membuka suara. “Kakak, saya
dikejar-kejar militer,” katanya, berkeluh kesah. Mendengar itu, Alwy kaget.
Selaksa tanya bergelimang di benak jurnalis itu.
Alwy
heran, bagaimana bisa, Dahlan, mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
Samarinda itu sampai berurusan dengan militer. Bagaimana bisa, pemuda di
hadapannya yang sudah dia anggap adik itu tiba-tiba menjadi dicari-cari.
Tetapi
pikirannya segera melayang ke masa lampau. Alwy tahu, Dahlan memang ekstrem.
Kira-kira, seekstrem Nurcholis Madjid, tentang sejumlah pandangannya tentang
agama. Itu dirasakan Alwy, ketika mereka pertama kali berkenalan enam bulan
sebelum anjangsana ini di sebuah ruangan di samping Gedung Nasional. Sekarang,
lokasi gedung itu di Jalan Jenderal Sudirman, Samarinda. Waktu itu, Alwy dan
Dahlan sama-sama mengikuti sebuah diskusi agama.
Usai
perkenalan itu, Alwy mulai ingat, jika Dahlan aktif di beberapa organisasi
seperti Pelajar Islam Indonesia. Bukan organisasi terlarang pada masa itu.
Lantas, dari mana juntrungannya sampai dikejar-kejar militer? “Kok, bisa?”
Akhirnya, kalimat tanya yang dari tadi tertahan keluar juga. “Malari,” jawab
Dahlan singkat. Tak lama kemudian, pemuda itu bercerita panjang lebar.
***
MALARI,
sebuah akronim dari Malapetaka Lima Belas Januari. Momentum ketika unjuk rasa
besar-besaran pada 15 Januari 1974, saat Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka
berkunjung ke Indonesia dan diterima Presiden Soeharto.
Di
Jakarta, Hariman Siregar menjadi tokoh penggerak demonstrasi ketika kedatangan
pemimpin Negeri Matahari Terbit itu. Demonstran mengusung perjuangan antimodal
asing, tema yang santer beberapa tahun belakangan. Momentum kunjungan perdana
menteri lalu membuat Jakarta membara. Kobaran api mulai merebak di penjuru ibu
kota. Panasnya terasa ke seluruh penjuru negeri termasuk Samarinda.
Dahlan
bersama beberapa kawan sekampusnya enggan ketinggalan. Mereka ikut mengadakan
aksi. Di antara beberapa teman, terdapat nama Syaiful Teteng yang kemudian
menjabat sekprov Kaltim pada dekade 2000-an, dan, Syarifuddin Prawiranegara, seorang
aktivis masa itu.
Dahlan
dan kawan-kawan lantas berdemonstrasi kecil-kecilan. Selembar bendera hitam
mereka kibarkan di Tugu Nasional yang sekarang persis di sebelah Kantor Pusat
BNI 46 Samarinda di Jalan Pulau Sebatik.
Di
Ibu Kota, Hariman Siregar sudah ditangkap penguasa Orde Baru. Di Samarinda,
teman-teman Dahlan juga dikerangkeng. Militer di Balikpapan sudah mendaftar
mereka-mereka yang berdemonstrasi pada siang 15 Januari itu. Tinggallah nama
Dahlan sebagai yang terakhir dalam senarai pencarian.
“Oh,
begitu rupanya. Memangnya kenapa, kok ikut-ikutan protes soal ekonomi dan
politik?” tanya Alwy kepada Dahlan. Dengan berapi-api, yang ditanya menjawab.
“Wah, kami ini sebagai anak muda harus menegakkan keadilan,” katanya penuh
semangat, lalu melanjutkan, “Itu namanya idealis.”
Segera
otak Alwy berputar lagi. “Kalau kamu begini, ya pasti ditangkap. Nah, mau tetap
jadi aktivis? Mau idealis? Mau mengkritik tetapi tidak akan ditangkap? Ada
caranya,” kata Alwy yang lahir di Singkang, Sulawesi Selatan, 27 Desember 1939
itu.
“Bagaimana
caranya?” Dahlan yang kadung penasaran balik bertanya. Sembari mengulas senyum,
Alwy menjawab, “Ikut saya. Kamu jadi wartawan.”
GURU DAN MURID: Dahlan Iskan (kiri) dan Alwy AS. |
***
ALWY
adalah seorang jurnalis di Kaltim. Belum banyak pada waktu itu. Cerita panjang
dia bergumul dengan dunia ini dimulai ketika mendirikan Surat Kabar Harian
Mimbar Mahasiswa di Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, pada pertengahan
1960-an. Di kediamannya di Jalan M Yamin, Samarinda, Alwy bercerita panjang
kepada Kaltim Post, beberapa waktu lalu.
Alwy
yang menghabiskan masa kecil di Samarinda, menyelesaikan kuliah ekonominya di
Unlam. Di sana, dia mulai mengenal dunia jurnalistik ketika menjadi penyiar RRI
Banjarmasin selama lima tahun.
Pernah
suatu kali, ketika partai partai komunis menjalankan Gerakan 30 September 1965,
Alwy harus mendekam di balik dinginnya jeruji. Gara-garanya, dia memberitakan
seorang anggota partai komunis yang lolos dari tahanan. Sumber berita dari
pihak militer dirahasiakan, membuatnya menjadi incaran penguasa.
Di
pengujung Orde Lama, berita-berita demikian benar-benar sensitif. Alwy yang
baru setahun menjadi sarjana muda ditangkap bersama seorang kawannya bernama
Anang Adenansi (almarhum) yang juga aktivis. Keduanya ditahan di Markas Corps
Polisi Militer di Banjarmasin.
Kabar
penahanannya segera merebak. Banyak kerabat bersimpati. Mulai civitas Unlam
sampai para taulan. Perhatian terus datang. Setiap hari, Alwy dan Anang
dikirimi banyak makanan dari luar. Ada soto, nasi kuning, hingga ayam bakar.
Rutin tiga kali sehari selama 40 hari. Saking banyaknya, makanan itu tak pernah
bisa mereka habiskan. Sebagian diberikan kepada penjaga markas.
Ketika
40 hari berlalu, Alwy dan Anang dibebaskan. Keduanya sangat bahagia, tetapi
tidak bagi para tentara yang berjaga di Markas CPM. Para penjaga itu agak
bersedih karena rupanya, tidak ada lagi antar-mengantar konsumsi yang biasanya
tandas di perut mereka.
***
KARIER
jurnalistik Alwy terus melesat. Selepas keluar dari penjara, dia mendirikan
Surat Kabar Harian Mimbar Mahasiswa di Unlam. Alwy yang menikahi seorang
perempuan dari Berabai, Kalsel, bernama Suwinnah –sekarang guru besar di
Universitas Mulawarman, Samarinda–, juga membentuk Ikatan Pers Mahasiswa
Indonesia. Ketika sedang aktif-aktifnya itulah, Alwy berkenalan dengan Abdoel
Wahab Sjahranie, seorang petinggi militer di Kalsel.
Memasuki
1967, Sjahranie ditunjuk Presiden Soeharto menjadi Gubernur Kaltim. Pada masa
itu, belum ada surat kabar yang senapas Orde Baru di Bumi Etam –sebutan lain
Kaltim. Sebelumnya, sudah ada koran-koran yang masih berusaha menyesuaikan diri
dengan iklim Orde Baru. Rata-rata media cetak itu terbit mingguan di Balikpapan
dan Samarinda, seperti Meranti, Wisma Berita, Pacific, BS Djaya, dan lainnya.
Gubernur
Kaltim Abdoel Wahab Sjahranie pun menginginkan ada kehidupan pers yang bercita
rasa Orde Baru di wilayahnya. Hingga suatu hari di pengujung 1970, Sjahranie
berkata kepada Alwy, “Kenapa tidak membuat koran di kampung halaman saja?”
Sebuah ajakan dari Gubernur yang segera disetujuinya.
Alwy
pun pulang kampung ke Samarinda dan mulai mendirikan surat kabar. Sembari
menghidupkan surat kabar, Alwy aktif berorganisasi. Dia menjadi sekretaris
Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kaltim. Oleh Gubernur Sjahranie, Alwy
mendapat kantor untuk sekretariat KNPI di Jalan Hidayatullah –kantor itu didera
musibah kebakaran, Idulfitri tahun ini.
Ketika
menjadi ketua KNPI beberapa tahun berikutnya, sekretariat itu pun berfungsi
ganda sebagai kantor surat kabar milik Alwy, Mimbar Masyarakat, tempat pertama
kali Dahlan Iskan menggeluti profesi “penyambung lidah rakyat.” (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar