Kamis, 21 Februari 2013

(3) Malaysia, Tetangga yang Rumputnya Kini Lebih Hijau




 Curang yang Samar, Pembangunan yang Benar



Sebentar lagi Malaysia mengadakan pemilihan umum. Situasi politik memanas diiringi mitos unik. Pelajaran apa yang patut ditilik?



KIDUNG yang dialunkan suara merdu Duta, vokalis Sheila on 7, berdendang di sudut jalan Chow Kit, subdistrik Kuala Lumpur, Malaysia. Gita milik grup band yang sudah kesohor di Negeri Jiran itu datang dari pengeras suara sebuah toko emas. 

 

Chow Kit, kawasan kecil di bawah jalur monorail yang menjadi tempat berguyub para pekerja asal Indonesia. Produk bermerek dagang Tanah air bertebaran. Mulai jamu, obat-obatan, hingga kuliner. Pedagang kios-kios kecil kebanyakan berasal dari Indonesia.

 

Selain jasa penukaran dan pengiriman uang, toko emas menjamur. Semua etalase yang memajang logam mulia dipasangi terali besi. Menurut ceritera pemilik toko, terungku itu peninggalan masa lalu. Di waktu lampau, kejahatan di kawasan ini luar biasa menakutkan. 

 

“Penjenayah (penjahat) merampok menggunakan senjata api,” ucap seorang pedagang kepada Kaltim Post, tengah pekan lalu. Ketika rumput Malaysia masih kalah hijau dengan Indonesia, tingkat kejahatan tergolong tinggi. Tatkala pekarangan mereka  lebih subur, kriminalitas ikut menghilang. 

 

Dalam 20 tahun terakhir, wajah Kuala Lumpur berubah. Mimpi menjadi tujuan wisata dunia, kini telah tercapai (baca juga serial ini edisi sebelumnya). Pemimpin besar di balik keberhasilan ini adalah Mahatir Mohamad. 

 

Berkuasa selama 22 tahun, si Bapak Modernisasi memulai pembangunan pariwisata pada awal 90-an. Malaysia mengalami lompatan dari ekonomi berbasis pertanian ke ekonomi manufaktur dan industri. Terutama bidang komputer dan elektronika.

 

Pada rezim Mahatir juga, bentang darat Malaysia diubah lewat pelbagai megaproyek. Paling terkemuka adalah Menara Kembar Petronas yang sempat menjadi gedung tertinggi di dunia. Lalu Bandar Udara Internasional Kuala Lumpur, Jalan Tol Utara-Selatan, dan Sirkuit F1 Sepang. Ada pula Multimedia Super Corridor (MSC), bendungan Pembangkit Listrik Tenaga Air Bakun, dan Putrajaya, pusat pemerintahan yang baru.

 

Ruang yang lebih besar juga diberikan kepada kaum Bumiputra, sebutan bagi pribumi Malaysia yang sebagian besar Melayu, mengambil bagian dalam pembangunan. 

 

Untuk sebuah negara, tujuan Malaysia boleh dibilang tercapai. Ekonomi tumbuh dengan baik beserta infrastrukturnya. Pendapatan negara terjamin dari sektor pariwisata. Cukup selayang pandang untuk mengatakan bahwa rumput di Negeri Jiran lebih hijau dari pekarangan negeri sendiri. 

 

Di Kuala Lumpur, media ini sempat bertemu seorang pegawai Kedutaan Besar Malaysia untuk Indonesia. Saking majunya Kuala Lumpur, para warga asli yang telah menjual tanahnya di kota itu dipastikan tak akan sanggup lagi membeli kembali. Penuh sesak, harga tanah naik hingga 10 kali lipat. 

 

Di bidang perkebunan, Malaysia menghadapi persoalan yang sama; ketersediaan lahan. Di negara bagian Malaysia Timur yakni Sabah dan Serawak, lahan kebun kelapa sawit makin berkurang demikian tenaga kerjanya. 

 

Menurut pria Melayu yang telah beberapa kali ke Samarinda itu, pengusaha Malaysia kini mulai menancapkan kuku bisnisnya ke Indonesia, utamanya Borneo. Didorong ketersediaan tenaga kerja yang murah dan lahan yang luas di Kalimantan. Jika tidak bisa melewati penanaman modal asing, cara lain digunakan. 

 

“Ada beberapa pengusaha asal Malaysia; atau anak-anak pengusaha itu yang menikahi orang Indonesia. Dengan menggunakan nama istri atau menantu, mereka bisa mendapat izin perkebunan,” sebutnya. Dengan demikian, sulit melacak mana perkebunan di Indonesia yang sebenarnya dimiliki orang Malaysia. 

 

Jika masalah lahan perkebunan kelapa sawit tertangani, ada hal lain yang harus dilewati. Mayoritas sendi perekonomian Malaysia masih dikuasai non-Bumiputra. Menimbulkan kecemburuan sosial yang mulai menjelma dalam kekuatan politik. Sedikit saja gesekan bisa menimbulkan konflik hebat.

 

Malaysia sebentar lagi akan melewatinya lewat pemilu. Apapun yang terjadi, gagal atau berhasil, patut disarikan menjadi pelajaran di negeri ini. Utamanya Kaltim yang berisi berbagai suku bangsa yang juga akan melewati pemilu kepala daerah. 

 

 

DEMONSTRASI: Aksi kelompok oposisi. Menuntut pemilu yang bersih di Malaysia.

 


***

 

DI DEPAN kemudi taksi, Ibrahim terus menggerutu. Pria Melayu berusia 50-an tahun ini merasa tak puas dengan kemajuan negerinya. 

 

“Sedikit orang kami yang menikmati hasil pembangunan. Semua dikuasai pendatang (menyebut ras tertentu),” kesalnya, ketika diwawancarai Kaltim Post, Jumat (11/1) malam. Dia mengaku menjadi partisan kelompok oposisi yang akan berdemonstrasi keesokan paginya.  

 

Terpusat di Stadium Merdeka di pusat Kuala Lumpur, puluhan ribu demonstran melancarkan aksi protes pada Sabtu (12/1). Di tengah seliweran para turis, kaum oposan yang mayoritas Melayu berduyun-duyun menuju lokasi demonstrasi menggunakan transportasi massal. Mereka datang dari tiga kelompok sesuai warna atribut, merah, kuning, dan hijau.

 

Tuntutan para oposisi adalah pemilu bersih, daftar pemilih yang benar, masa kampanye minimal 21 hari, dan menghentikan politik kotor. 

 

Suhu politik Malaysia jelang pemilu terus memanas. Negara ini harus mengadakan pemilu paling lambat Juni 2013. Rentang yang tak terlalu jauh dengan pemilu kepala daerah Kaltim.

 

Sepanjang sejarah Malaysia, partai UMNO menjadi satu-satunya yang berkuasa sejak 1957. Berhaluan sama, perencanaan pembangunan negeri itu berjalan mulus kendati berganti-ganti perdana menteri. Dalam beberapa tahun terakhir, kekuatan oposisi Malaysia meningkat. Sementara partai UMNO yang berkuasa sejak negara itu berdiri, berdasarkan survei mulai menurun.

 

Derasnya arus informasi via internet mulai meningkatkan kekuatan oposisi. Penguasa sejak lama mengungkung kebebasan pers. Sejumlah isu berisi konspirasi penguasa sampai serah-terima rasuah didengungkan para oposan yang dipimpin Anwar Ibrahim untuk menggoyang penguasa.  

 

Sebagian yakin, tahun ini adalah akhir rezim Partai UMNO dan dua partai lain yang bergabung dalam koalisi Barisan Nasional. Ada sebuah mitos yang mirip seperti halnya Indonesia. 

 

Di Tanah Air, Jayabaya meramalkan rangkaian nama para pemimpin bangsa akan membentuk kata “Notonogoro”.  Sejauh ini, ramalan  Raja Kediri itu masih mengikuti rel. Urutannya yakni Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, dan Presiden Yudhoyono. Sisa dua suku kata yakni “go” dan “ro” masih jadi tanda tanya kebenaran nubuat itu.

 

Di Malaysia, mitos yang berkembang adalah ramalan ‘Rahman’. Diambil dari nama belakang perdana menteri Malaysia yang pertama, Abdul Rahman. 

 

Urutannya adalah R untuk Rahman (1957-1970), A untuk Abdul Razak (1970-1976), H untuk Hussein Onn (1976-1981), M untuk Mahathir Mohamad (1981-2003), A untuk Abdullah Ahmad Badawi (2003-2009), dan N untuk Najib Razak (2009-sekarang). 

 

Tak sedikit yang percaya bahwa Najib Razak adalah penutup dari era ‘Rahman’ berikut partai UMNO dan koalisi Barisan Nasional. Kekuasaan selama 56 tahun diyakini berganti. 

 

“Kami ingin negara ini bersih dari korupsi melalui pemilihan umum yang tidak curang,” tegas Ali, salah seorang demonstran. Kaltim Post bertemu ketika dia dalam perjalanan pulang di atas komuter, tak lama setelah demonstrasi bubar, sore akhir pekan lalu.

 

Sepatutnya untuk dicemburui, ketika Malaysia memiliki banyak opsi. Mereka sudah memilih penguasa (yang mungkin saja berlaku curang) tetapi di sisi lain kemajuan negara begitu nyata. Sekarang, sebagian jiran menginginkan lebih. Bukan hanya maju, pengelolaan negara harus bersih dan transparan.

 

Bagaimana Indonesia? Kaltim khususnya? Ada pilihan seperti Malaysia meskipun sulit. Sesulit membeli kucing dalam karung ketika memilih pemimpin. Jika beruntung, rakyat mendapat pemimpin yang bagus seperti DKI Jakarta atau Surabaya. 

 

Tetapi tengok pengalaman di beberapa daerah. Sudah pemimpinnya curang, korup, dan berpatgulipat jahat, daerahnya tak maju-maju pula!  (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar