Kamis, 21 Februari 2013

(1) Malaysia, Tetangga yang Rumputnya Kini Lebih Hijau



Simsalabim! Lubang Tambang Jadi Ladang Uang


Sulit untuk tidak mengakui bahwa aktivitas tambang tak menimbulkan kerusakan. Sulit pula dihentikan ketika ribuan izin tambang terlahir di Kaltim. Opsi paling memungkinkan adalah menyulap lubang-lubang mengerikan itu. Mengubahnya menjadi penghasil uang seperti yang sudah Malaysia lakukan.



RAMBUT pirang keluarga Peterson belum kering benar ketika sampai di pintu keluar Sunway Lagoon. Riang gembira bermandi di kolam renang dengan rupa-rupa permainan, masih terasa. Sembari terus bersenandung kecil, kedua anak lelaki keluarga itu, yang masih 10 tahun dan 12 tahun, menukar cendera mata di pintu keluar.

Jeffrey, sang kepala keluarga, merencanakan pelesirannya ini sejak setahun lalu. Satu dari antara tujuan pria berkewarganegaraan Inggris ini datang ke Malaysia adalah mengunjungi Sunway Lagoon. Inilah wahana permainan di Petaling Jaya yang masuk wilayah Selangor. Berdiri di sebelah barat Kuala Lumpur yang ditempuh sekitar 30 menit perjalanan darat dari pusat kota. 

“Uang yang sudah dikeluarkan dengan apa yang kami dapat, bagi saya sesuai,” ucap Jeffrey yang berusia 40 tahun kepada Kaltim Post, Jumat (11/1) lalu. Untuk setiap anggota keluarga, dia hanya mengeluarkan RM (Ringgit Malaysia) 120 atau sekitar Rp 360 ribu untuk tiket masuk ke Sunway Lagoon.  

Pihak berwenang wahana permainan ini mencatat, sebanyak 1,6 juta orang berkunjung pada 2010. Tahun lalu, jumlahnya di atas 2 juta orang. Dengan jumlah wisatawan segitu, wahana hiburan ini meraup nyaris Rp 1 triliun per tahun. 

Sunway Lagoon berdiri di kompleks kota terpadu Sunway. Dibangun di bekas lokasi tambang timah. Ketika datang ke sana, Kaltim Post ditemani dua mahasiswa asal Samarinda yang sedang menempuh studi di Negeri Jiran. Keduanya yakni Akbar Ciptanto yang sedang menyelesaikan S-3 di Universitas Putra Malaysia, serta Nabil Husein, mahasiswa S-1 yang kuliah di Victoria University, Sunway. 

Kaltim Post khusus datang ke Kuala Lumpur untuk mengetahui reklamasi tambang yang benar-benar reklamasi. Bukan reklamasi asal-asalan yang kerap jadi santapan media-media lokal di Kaltim. 

Sunway Lagoon memiliki lima taman bermain. Wisata permainan basah dan kering dijadikan satu. Histeria pengunjung yang diambung tomahawk dan roller coaster pun bersahutan dengan gemercik water park. Wahana air sepuluh arena ini dilengkapi water boom, pantai buatan untuk berselancar, serta gunung berapi yang juga buatan. 

Di sisi lain, terhampar kebun binatang yang berdampingan dengan “Taman Mengerikan.” Taman bernuansa horor yang memiliki lima teater yang memutar film tiga dimensi.
Semua fasilitas itu dikelilingi tebing tinggi bekas tambang timah. Di cerukan kira-kira empat hektare, sebagian besar wahana tepat di dasar lubang tambang. Bekas garukan alat berat yang membentuk tebing setinggi 20 meter sengaja dipertontonkan. Lereng itu sudah diperkuat siring cor beton agar tidak runtuh. Sebagian sisinya malah diubah menjadi air terjun. 


BEKAS TAMBANG: Wisata air di Sunway Lagoon. Dulunya kawasan ini tambang timah.

  
Dari tepi jurang menuju tepi lainnya, menggantung jembatan setinggi 20 meter. Panjangnya kira-kira 200 meter. Mirip jembatan kanopi di Bukit Bengkirai, Samboja, Kutai Kartanegara. Dari ketinggian, mata pengunjung bisa menyantap seluruh wahana. Syaratnya cuma satu, tidak fobia ketinggian.

Lubang tambang jumbo ini sebagian dibiarkan tetap terisi air. Bersalin menjadi danau yang bertepi kebun aneka satwa. Teduh dan menenangkan hati ketika kulit menikmati semilir angin ditambah pemandangan air yang beriak. 

Di sisi yang lain, wahana permainan air yang megah dan permainan ekstrem menghadirkan pekik demi pekik. Keseruan permainan adu nyali ini memang tidak boleh dimainkan sembarang orang. Ada syarat tinggi dan berat badan untuk masing-masing tantangan. 

Tak heran, wahana dengan fasilitas kelas dunia ini dikunjungi 2 juta orang setiap tahunnya. Sesungguhnya, angka 2 juta itu jauh lebih kecil dibanding mereka yang datang ke Kota Terpadu Sunway. Begitupun Rp 1 triliun pendapatan kotor setahun dari penjualan tiket masuk ke Sunway Lagoon. Angka itu hanya sepersekian dari uang yang berputar di penjuru Sunway. Kota terpadu yang dibangun di sekitar bekas lubang tambang.


***


HARI libur Nabil Husein, mahasiswa asal Samarinda yang kuliah di Victoria University, Sunway, Malaysia, dimanfaatkan dengan bercengkerama bersama teman-teman kampus. Kawan-kawan Nabil banyak berasal dari Eropa, Jepang, dan Australia.
Kampus putra sulung tokoh Kaltim, Said Amin, itu berdiri di kompleks pendidikan Sunway. Memiliki beberapa gedung di satu lokasi seluas 2,2 hektare, tempat perkuliahan memuat berbagai universitas. Hanya Monash University yang gedungnya terpisah jauh dari kompleks universitas di Sunway. 

Nyaris semua universitas di sini merupakan jaringan luar negeri terutama Australia dan Eropa. “Dari berbagai universitas, semua kuliah di gedung yang sama. Berkumpul di kantin dan perpustakaan yang sama,” ucap pemuda tinggi besar ini. 

Informasi yang dikumpulkan media ini, pembangunan universitas di Kota Terpadu merupakan bagian dari tanggung jawab sosial Sunway Group. Kelompok usaha yang dipimpin Jeffrey Cheah ini memulai usaha tambang timah kecil pada 1974. Sepanjang menambang, Sunway Group mengembangkan jemari bisnisnya di bidang properti dan konstruksi. 

Pada 1986 atau 12 tahun setelah pertama kali mengeruk timah, Sunway memulai pembangunan kota terpadu dengan investasi multitriliun rupiah. Di atas lahan 7 juta kaki persegi, fasilitas kelas dunianya menarik 30 juta orang setiap tahun.
Sunway pun makin dibanjiri wisatawan usai pemerintah Malaysia membangun sektor pariwisatanya. Kebijakan itu dimulai ketika era Perdana Menteri Mahatir Mohamad pada dekade 90-an. 

Kini, kota terpadu Sunway di bekas lahan tambang memiliki tujuh ribu rumah, puluhan unit industri, wahana bermain, pusat perbelanjaan Sunway Pyramid, lapangan golf, hingga universitas. Mahasiswa dari berbagai belahan dunia yang belajar di sini mencapai 45.000 orang, sedikit lebih banyak dari mahasiswa Universitas Mulawarman. 

                                                                                                                                                                                                                  
UNIVERSITAS KONDANG: Kampus berjaringan internasional. Tak sedikit mahasiswa Indonesia kuliah di sini.





Menurut Nabil Husein yang memasuki tahun kedua kuliah di Sunway, ongkos belajar relatif terjangkau. Untuk satu mata kuliah dikenai RM 3.000 atau sekitar Rp 9 juta. Setiap semester mahasiswa hanya boleh mengambil maksimal lima mata kuliah. Rata-rata mereka hanya belajar tiga subjek per semester. 

Dengan demikian, setiap mahasiswa kira-kira mengeluarkan Rp 54 juta per tahun. Maka dari biaya akademik saja, uang yang beredar dalam setahun bisa mencapai Rp 2,4 triliun!
Belum termasuk biaya makan, apartemen atau asrama, dan keperluan lainnya. Rataannya sekitar Rp 24 juta setahun per orang. Ditambah item itu, perputaran uang di Sunway Rp 3,4 triliun setahun. Hanya dari mahasiswa!

“Untuk sebuah kota terpadu, fasilitas di sini lengkap. Para petinggi negara bahkan memiliki rumah yang harganya mencapai RM 800 ribu (sekitar Rp 2,4 miliar),” ucap Nabil. Dia sendiri tinggal di apartemen yang tak jauh dari kampus. 

Tak hanya Sunway, Negeri Jiran juga berhasil menyulap sejumlah lahan bekas ladang timahnya di tempat lain. Di Serdang, sebelah tenggara Kuala Lumpur, lahan bekas tambang menjadi pusat perbelanjaan. 

Mal bernama The Mines itu berdiri tak jauh dari Universitas Putra Malaysia. Dari namanya, tentu sangat mudah mengetahui bahwa tempat ini dulunya areal petambangan. Pusat perbelanjaan ini memiliki sungai kecil di lantai dasarnya. Pengunjung dapat berwisata air dengan perahu di dalam mal. 

Bagaimana dengan Samarinda? Menjelang akhir zaman tambang batu bara di Kota Tepian, belum ada rancangan menyeluruh terhadap penanganan lahan bekas tambang. Meski begitu, dalam contoh kecil, bekas arena galian batu bara di Samarinda sudah dimanfaatkan. Perumahan yang dibangun pengembang berjaringan nasional, misalnya, berdiri di Lempake, Samarinda Utara. Dulunya perumahan elite itu juga bekas tambang.

Tapi itu benar-benar sebagian kecil. Meminjam catatan Sekretaris Komisi III DPRD Samarinda Mursyid AR, kota ini masih punya 145 lubang tambang. Terancam tetap menganga menjadi danau mati.

Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak mengatakan, Samarinda sangat bisa meniru Negara Jiran. “Di Samarinda, saya mengusulkan lahan bekas tambang yang masuk konsesi dua perusahaan agar bisa meniru apa yang Malaysia lakukan,” jelas Faroek, pekan lalu.

Kedua perusahaan yang dimaksud Gubernur yakni PT Bukit Baiduri Energi (BBE) dan PT Lana Harita Indonesia. Di lahan BBE, Universitas Mulawarman pernah mengajukan permintaan untuk membangun kampus baru. Namun belum ada kejelasan hingga sekarang.
Ada pula investasi besar yakni Trans Studio yang disebut-sebut akan masuk ke Kaltim.
Memerlukan lahan 20 hektare, bukan tidak mungkin lahan bekas tambang dapat dimanfaatkan seperti di Malaysia. 

Adakah yang benar-benar akan memulainya? Siapakah yang memulai inisiatif meniru negara tetangga yang rumputnya jelas lebih hijau? Atau; haruskah provinsi ini pasrah ketika eksploitasi batu bara hanya menyuguhkan lubang raksasa yang menganga dengan angkuhnya? (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar