Jaket Biru, Kacamata Hitam yang Kebesaran, dan Sepeda Motor Butut
Dahlan Iskan adalah sebuah kesederhanaan. Tanpa embel-embel ini itu, dia dikenal sebagai jurnalis yang menggunakan sesuatu seperlunya. Dahlan adalah Dahlan.
AAN R GUSTAM*
WARTAWAN muda ini dikenal
urakan dan sekenanya dalam penampilan sehari-hari. Begitulah Dahlan sejak jadi
wartawan Mimbar Masyarakat di dekade 70-an di Samarinda.
Kecuali
pada acara sangat resmi, ke mana-mana dia gemar memakai sandal kulit. Kalau
sekarang Dahlan memakai sepatu kets, itu merupakan suatu peningkatan. Diingatkan
beberapa pejabat agar pakaiannya menyesuaikan jika ke Kantor Gubernur atau Balai
Kota, itu sudah biasa. Tapi Dahlan adalah Dahlan.
Meski
begitu, Dahlan hampir tidak pernah memakai baju kaus apalagi kaus oblong dalam
bertugas. Ia gemar mengenakan baju safari ala pejabat penting. Jadi bisa
dibayangkan penampilan Dahlan, berbaju safari tetapi bersandal kulit. Jika
ditanya alasannya, ternyata bukan untuk gagah-gagahan mau dianggap sebagai
orang penting. “Safari ini ‘kan kantongnya ada empat. Jadi saya mudah menyimpan
kamera, buku catatan, pulpen dan bahkan kertas-kertas,” terang dia. Dahlan
memang tidak biasa membawa tas seperti umumnya para wartawan.
Seingat
saya, selain kamera poket, ada tiga barang lain yang sangat disayangi Dahlan.
Dalam menjalankan tugas jurnalistik, ketiga barang ini selalu dia bawa. Ketiganya
adalah jaket kain berwarna biru yang di bagian belakang ada tulisan Institut Teknologi
Bandung (ITB).
Kedua, kacamata hitam besar yang sama sekali tidak pas dengan
bentuk mukanya yang tirus itu. Ketiga, benda sangat vital, yaitu sepeda motor
bebek butut warna abu-abu kombinasi hitam.
Jaket
ITB yang oleh anak-anak muda biasa disebut hudi itu (karena ada kain penutup
kepala di bagian belakang), didapat Dahlan dari seorang teman wartawan Majalah
Tempo. Dahlan sangat bangga dengan jaket itu. Ketika saya mengunjungi rumah kontrakannya
di Gubeng Kertajaya yang berdinding gedek (anyaman bambu) beberapa bulan
setelah dia pindah ke Surabaya, jaket itu masih ada tapi lusuh sekali. Kehilangan
warna.
Tapi
kacamata besar hitamnya hilang. Tertinggal di sebuah kantor ketika dia mewawancarai
seorang sumber di Samarinda.
Yang
saya tidak habis pikir, dia sangat menyesali kehilangan itu. Dia selalu
mengingatnya bak kehilangan kacamata mahal bermerek. Padahal, itu kacamata
murah yang dia beli di pedagang kaki lima. Beberapa kali dia bilang pada saya
seakan minta pendapat. “Sayang ya, padahal bagus,” ucapnya.
Tapi
saya tak pernah berkomentar karena kacamata itu memang jelek sekali dan sangat
tidak cocok dengan wajahnya. Bayangkan saja, Dahlan harus ekstra-sibuk
membetulkan posisi kacamata bila ia sedang memakainya. Kacamata hitam itu
kebesaran dan kedodoran.
Kemudian
sepeda motor bebek. Kendaraan ini dibeli dari hasil keuntungan Mimbar
Masyarakat yang terbit dari mingguan menjadi harian selama sepuluh hari.
Pada
1976, Samarinda menjadi tuan rumah MTQ tingkat nasional. Kami bertiga, redaktur
di koran itu, yakni saya, Dahlan dan Ibrahimsyah Rahman (sekarang redaktur di
Harian Kompas), bersepakat meningkatkan penerbitan menjadi harian selama
berlangsungnya kegiatan musbaqah.
Keuntungan
dari terbit harian itu sekitar Rp 600 ribu lalu dibelikan sepeda motor bebek
bekas merek Honda. Karena Dahlan paling senior dan dia di posisi redaktur
pelaksana, dialah yang menggunakannya. Setelah beberapa bulan, motor itu
ngadat. Setelah diusut, ternyata bukan bensin yang habis tapi oli mesin.
Rupanya Dahlan tidak pernah memeriksa oli mesin. Bayangkan, ketika mesin
dibuka, pelumasnya hanya tinggal beberapa sendok.
Sebelum
Dahlan ke Surabaya, motor bebek ini ditahan polisi di Samarinda karena
surat-suratnya juga tidak beres alias tidak pernah diurus. Beberapa kali Dahlan
sempat menelepon dari Surabaya agar motor itu diurus tapi tidak ada yang mau
mengurusnya. Begitulah, nasib sepeda motor Dahlan. Berakhir menyedihkan di
kantor polisi.
***
DAHLAN tidak pernah
bercita-cita yang muluk-muluk. Kehidupan dan kariernya menggelinding begitu
saja. Yang di benaknya hanyalah bekerja, bekerja, dan bekerja dengan baik. Kegigihannya
menggebrak masa depan. Dia tidak perlu moto atau kata-kata mutiara seperti
dimiliki kebanyakan orang-orang sukses.
Selain
orang tua dan istrinya, orang yang paling dihormati Dahlan adalah guru
mengajinya dan Mas Gun (Goenawan Mohammad, bos Dahlan di Majalah Tempo). Mas
Gun bagi Dahlan adalah panutan. Baik dalam ilmu jurnalistik maupun moralitas. Kesederhanaan
kehidupan yang dilakoni Dahlan pun banyak diperolehnya dari Mas Gun.
Dan
media massa yang paling keras mengharamkan wartawannya menerima uang atau
bingkisan saat bertugas adalah Majalah Tempo. Awal di Majalah Tempo. Dahlan
pernah diuji diam-diam oleh media itu dalam masalah menerima amplop dari sumber
berita. Dan dia lulus dalam ujian itu.
Rasa
hormat Dahlan terhadap Mas Gun dalam kesederhanaan bisa ketika Dahlan sudah
menangani Jawa Pos. Pada saat oplahnya sudah 200 ribu eksemplar, Jawa Pos punya
kantor perwakilan bagus di Jakarta serta dua anak perusahaan pers, Cahaya Siang
di Manado dan Kaltim Post di Balikpapan.
Jam
terbang Dahlan semakin tinggi. Namun turun-naik pesawat terbang, Dahlan tetap
bersandal kulit atau sepatu kets serta menenteng kantong plastik. Itu tempat
menyimpan beberapa lembar pakaian. Seorang kolega bisnis yang acap
memperhatikan sikap Dahlan ini menegurnya.
“Sudah jadi bos surat kabar, Anda
kok masih bawa kantong plastik. Pakai tas hitam, dong,” kata koleganya itu.
Dahlan tersenyum dan menjawab, “Ini juga cukup. Enggak enak sama Mas Gun.”
Begitulah dia. Dahlan adalah Dahlan. (bersambung)
*) Aan R Gustam
cukup lama bersama Dahlan Iskan di Surat Kabar Mimbar Masyarakat di Samarinda.
Pernah menjadi redaktur pelaksana di Surat Kabar Harian ManuntunG.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar