Jumat, 22 Februari 2013

(5) Dahlan Iskan Tempo Doeloe di Samarinda: Kesederhanaan

Jaket Biru, Kacamata Hitam yang Kebesaran, dan Sepeda Motor Butut


Dahlan Iskan adalah sebuah kesederhanaan. Tanpa embel-embel ini itu, dia dikenal sebagai jurnalis yang menggunakan sesuatu seperlunya. Dahlan adalah Dahlan.


AAN R GUSTAM*

WARTAWAN muda ini dikenal urakan dan sekenanya dalam penampilan sehari-hari. Begitulah Dahlan sejak jadi wartawan Mimbar Masyarakat di dekade 70-an di Samarinda.
Kecuali pada acara sangat resmi, ke mana-mana dia gemar memakai sandal kulit. Kalau sekarang Dahlan memakai sepatu kets, itu merupakan suatu peningkatan. Diingatkan beberapa pejabat agar pakaiannya menyesuaikan jika ke Kantor Gubernur atau Balai Kota, itu sudah biasa. Tapi Dahlan adalah Dahlan.

Meski begitu, Dahlan hampir tidak pernah memakai baju kaus apalagi kaus oblong dalam bertugas. Ia gemar mengenakan baju safari ala pejabat penting. Jadi bisa dibayangkan penampilan Dahlan, berbaju safari tetapi bersandal kulit. Jika ditanya alasannya, ternyata bukan untuk gagah-gagahan mau dianggap sebagai orang penting. “Safari ini ‘kan kantongnya ada empat. Jadi saya mudah menyimpan kamera, buku catatan, pulpen dan bahkan kertas-kertas,” terang dia. Dahlan memang tidak biasa membawa tas seperti umumnya para wartawan.

Seingat saya, selain kamera poket, ada tiga barang lain yang sangat disayangi Dahlan. Dalam menjalankan tugas jurnalistik, ketiga barang ini selalu dia bawa. Ketiganya adalah jaket kain berwarna biru yang di bagian belakang ada tulisan Institut Teknologi Bandung (ITB). 

Kedua, kacamata hitam besar yang sama sekali tidak pas dengan bentuk mukanya yang tirus itu. Ketiga, benda sangat vital, yaitu sepeda motor bebek butut warna abu-abu kombinasi hitam.

Jaket ITB yang oleh anak-anak muda biasa disebut hudi itu (karena ada kain penutup kepala di bagian belakang), didapat Dahlan dari seorang teman wartawan Majalah Tempo. Dahlan sangat bangga dengan jaket itu. Ketika saya mengunjungi rumah kontrakannya di Gubeng Kertajaya yang berdinding gedek (anyaman bambu) beberapa bulan setelah dia pindah ke Surabaya, jaket itu masih ada tapi lusuh sekali. Kehilangan warna. 

Tapi kacamata besar hitamnya hilang. Tertinggal di sebuah kantor ketika dia mewawancarai seorang sumber di Samarinda.

Yang saya tidak habis pikir, dia sangat menyesali kehilangan itu. Dia selalu mengingatnya bak kehilangan kacamata mahal bermerek. Padahal, itu kacamata murah yang dia beli di pedagang kaki lima. Beberapa kali dia bilang pada saya seakan minta pendapat. “Sayang ya, padahal bagus,” ucapnya. 

Tapi saya tak pernah berkomentar karena kacamata itu memang jelek sekali dan sangat tidak cocok dengan wajahnya. Bayangkan saja, Dahlan harus ekstra-sibuk membetulkan posisi kacamata bila ia sedang memakainya. Kacamata hitam itu kebesaran dan kedodoran.
Kemudian sepeda motor bebek. Kendaraan ini dibeli dari hasil keuntungan Mimbar Masyarakat yang terbit dari mingguan menjadi harian selama sepuluh hari. 

Pada 1976, Samarinda menjadi tuan rumah MTQ tingkat nasional. Kami bertiga, redaktur di koran itu, yakni saya, Dahlan dan Ibrahimsyah Rahman (sekarang redaktur di Harian Kompas), bersepakat meningkatkan penerbitan menjadi harian selama berlangsungnya kegiatan musbaqah.

Keuntungan dari terbit harian itu sekitar Rp 600 ribu lalu dibelikan sepeda motor bebek bekas merek Honda. Karena Dahlan paling senior dan dia di posisi redaktur pelaksana, dialah yang menggunakannya. Setelah beberapa bulan, motor itu ngadat. Setelah diusut, ternyata bukan bensin yang habis tapi oli mesin. Rupanya Dahlan tidak pernah memeriksa oli mesin. Bayangkan, ketika mesin dibuka, pelumasnya hanya tinggal beberapa sendok.

Sebelum Dahlan ke Surabaya, motor bebek ini ditahan polisi di Samarinda karena surat-suratnya juga tidak beres alias tidak pernah diurus. Beberapa kali Dahlan sempat menelepon dari Surabaya agar motor itu diurus tapi tidak ada yang mau mengurusnya. Begitulah, nasib sepeda motor Dahlan. Berakhir menyedihkan di kantor polisi.

***

DAHLAN tidak pernah bercita-cita yang muluk-muluk. Kehidupan dan kariernya menggelinding begitu saja. Yang di benaknya hanyalah bekerja, bekerja, dan bekerja dengan baik. Kegigihannya menggebrak masa depan. Dia tidak perlu moto atau kata-kata mutiara seperti dimiliki kebanyakan orang-orang sukses. 

Selain orang tua dan istrinya, orang yang paling dihormati Dahlan adalah guru mengajinya dan Mas Gun (Goenawan Mohammad, bos Dahlan di Majalah Tempo). Mas Gun bagi Dahlan adalah panutan. Baik dalam ilmu jurnalistik maupun moralitas. Kesederhanaan kehidupan yang dilakoni Dahlan pun banyak diperolehnya dari Mas Gun.

Dan media massa yang paling keras mengharamkan wartawannya menerima uang atau bingkisan saat bertugas adalah Majalah Tempo. Awal di Majalah Tempo. Dahlan pernah diuji diam-diam oleh media itu dalam masalah menerima amplop dari sumber berita. Dan dia lulus dalam ujian itu. 

Rasa hormat Dahlan terhadap Mas Gun dalam kesederhanaan bisa ketika Dahlan sudah menangani Jawa Pos. Pada saat oplahnya sudah 200 ribu eksemplar, Jawa Pos punya kantor perwakilan bagus di Jakarta serta dua anak perusahaan pers, Cahaya Siang di Manado dan Kaltim Post di Balikpapan. 

Jam terbang Dahlan semakin tinggi. Namun turun-naik pesawat terbang, Dahlan tetap bersandal kulit atau sepatu kets serta menenteng kantong plastik. Itu tempat menyimpan beberapa lembar pakaian. Seorang kolega bisnis yang acap memperhatikan sikap Dahlan ini menegurnya.

 “Sudah jadi bos surat kabar, Anda kok masih bawa kantong plastik. Pakai tas hitam, dong,” kata koleganya itu. Dahlan tersenyum dan menjawab, “Ini juga cukup. Enggak enak sama Mas Gun.” Begitulah dia. Dahlan adalah Dahlan. (bersambung)


*) Aan R Gustam cukup lama bersama Dahlan Iskan di Surat Kabar Mimbar Masyarakat di Samarinda. Pernah menjadi redaktur pelaksana di Surat Kabar Harian ManuntunG.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar