”Jangan Idealis Jurnalis Dicampuri Urusan Bisnis!”
Dahlan Iskan
bilang, semua petinggi PLN dulunya sama seperti dirinya yang demonstran
jalanan. Ketika duduk di posisi penting, idealisme itu mesti dijaga. Ini memang
soal idealis dan begitulah dia sejak dahulu. Dahlan Iskan bilang, tetap memakai
sepatu kets walau sudah jadi menteri.
Ini soal kesederhanaan dan begitulah dia sejak dahulu.
KANTOR media yang
bangunannya tidak mirip kantor itu berwujud di Jalan Hidayatullah, Samarinda.
Sayid Alwy AS adalah pengelola surat kabar mingguan bernama Mimbar Masyarakat
tersebut. Dia baru saja “merekrut” wartawan muda bernama Dahlan Iskan pada
1974.
Kantor
Mimbar Masyarakat juga menjadi sekretariat Komite Nasional Pemuda Indonesia.
Alwy juga ketua organisasi itu. Dulunya, bangunan bercat putih ini adalah mes
pemerintah. Bentuknya memanjang ke belakang dengan sederet kamar. Di halamannya
yang jembar terparkir sepeda para wartawan.
Ruangan
paling depan diubah menjadi kantor. Sebuah meja tata usaha dan kasir yang
mengurus keuangan di bagian paling depan. Sedikit ke dalam, meja pemimpin
redaksi yang tak lain adalah Alwy, bersanding dengan meja wartawan.
TINGGAL KENANGAN: Kantor KNPI Kaltim sudah terbakar. Pernah menjadi kantor pertama Dahlan Iskan di Mimbar Masyarakat. |
Zaman
itu, mencetak koran bukan perkara mudah. Huruf-huruf disusun dengan alat tempel
aksara bernama letter. Sedangkan negatif
foto dikirim ke Surabaya demi mendapatkan citra sempurna. Waktunya bisa
berminggu-minggu. Walhasil, Mimbar Masyarakat tidak pernah menampilkan foto update. Alwy mengakalinya dengan
memasang foto dokumentasi yang kira-kira berkaitan dengan berita apa yang akan
diterbitkan di edisi terbaru.
Untuk
mencetak koran, Alwy harus mengirim salinan halaman ke Percetakan Negara di
Balikpapan. Jalan Soekarno Hatta yang sekarang menghubungkan Samarinda dan
Balikpapan, belum ada waktu itu. Untuk ke Kota Minyak, harus naik kapal ke
muara Sungai Mahakam lalu mendarat di kawasan Handil, Kutai (sekarang Kutai
Kartanegara). Dari situ, dilanjutkan perjalanan darat sekitar 60 kilometer ke
Balikpapan.
Kendati
sulit mencetak surat kabar, Mimbar Masyarakat sebagai satu-satunya media
cetak yang berani mengkritik, laku keras
di Samarinda. Dalam tempo singkat, mingguan dengan 10 halaman zebra alias hitam
putih selebar tujuh kolom itu oplahnya mencapai tiga ribu.
Editorial
yang dibuat Alwy, menjadi sukaan Gubernur Kaltim Abdoel Wahab Sjahranie. Isinya
seputar permasalahan provinsi. Dan Alwy menjadi sangat dekat dengan Gubernur
yang namanya diabadikan sebagai nama rumah sakit terbesar di Kaltim itu. Boleh
dibilang, dia adalah teman berdiskusi sang pemimpin.
Dahlan
kemudian bergabung di Mimbar Masyarakat setelah dia mengeluh kepada Alwy karena
dikejar-kejar militer dalam demonstrasi Malapetaka Lima Belas Januari (Malari)
di Samarinda. Sudah ada dua puluh wartawan di media itu ketika Dahlan yang
mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Samarinda ini bergabung pada 1974. Redaktur
pelaksananya waktu itu Almarhum Syuhainie Zakaria.
Di
situ, Alwy menyampaikan dasar-dasar jurnalistik seperti kode etik, kelengkapan
unsur berita, kejelasan sumber, mengolah lead,
sampai keberimbangan berita kepada Dahlan. Tidak perlu waktu lama memindah-ilmu
karena Dahlan memiliki naluri jurnalistik di atas rata-rata.
***
ALWY dan Dahlan
datang ke Gubernuran Kaltim, beberapa bulan setelah profesi wartawan melekat
pada pemuda itu. Mereka menemui Letkol Sayid Syekh, kepala Biro Sosial dan
Politik Sekretariat Provinsi di sebuah ruangan di lantai dua. Sayid adalah
kenalan lama Alwy.
“Tolong,
Pak, kawan saya ini jangan lagi dicari-cari (militer),” kata Alwy, mengutarakan
maksudnya. Dahlan yang di ruangan itu mimiknya datar. Tidak ada ekspresi
sedikit pun. “Soal Malari. Dia sekarang ikut saya jadi wartawan. Kalau ada
apa-apa, saya yang jadi jaminan,” lontar Alwy lagi (tentang Malari, silakan baca
bagian pertama tulisan ini).
Mendengar
itu, Sayid sejenak terdiam. Sebagai teman lama, dia tahu benar siapa Alwy. Dia
percaya benar sahabatnya itu. “Baik. Saya sampaikan ke atasan,” kata Sayid, mengabulkan
permintaan Alwy.
Setelah
bercengkerama tentang beberapa hal lainnya, kedua jurnalis itu ke luar ruangan.
Alwy masih ingat benar, tidak ada yang berubah dari ekspresi Dahlan. Rautnya
tetap biasa. Tapi dalam hatinya Alwy tahu, pemuda yang dianggap adiknya itu
mendapatkan sebuah kelegaan.
***
“BESOK, kita bertemu
Gubernur Sjahranie,” ajak Alwy, pemimpin redaksi surat kabar mingguan Mimbar
Masyarakat. Mata Dahlan, wartawan muda yang mendengar ajakan itu berbinar.
Sebagai
wartawan senior di Samarinda, Alwy kerap bertemu dengan Sjahranie. Banyak hal,
terutama pembangunan di Kaltim yang mereka diskusikan. Dalam setiap perjalanan
Gubernur ke pedalaman, Alwy tidak akan tidak turut serta.
Di
masa Sjahranie pula sejumlah proyek besar dimulai. Sjahranie adalah penggagas
Proyek Jalan Kalimantan (Projakal) mulai perbatasan Kalimantan Selatan di Paser
hingga tembus Samarinda.
Gubernur
itu juga menyediakan berhektare lahan bagi Universitas Mulawarman, di Gunung
Kelua, Samarinda. Dia menggagas agar TVRI, stasiun televisi pemerintah yang
sebelumnya berpusat di Balikpapan, bisa siaran di Samarinda. Termasuk pula,
lahan rumah sakit umum yang kini memakai nama sang Gubernur, di Jalan Dr
Soetomo.
Hari
itu, Alwy mengajak Dahlan berdiskusi ringan dengan Gubernur. Sampai tiba hari
pertemuan yang dinanti, sesuai janji,
Dahlan menemui Alwy di kantor Mimbar Masyarakat pada suatu pagi. “Saya sudah
siap, Kak,” kata Dahlan, seolah ganti mengajak Alwy supaya cepat-cepat ke Lamin
Etam --kantor Gubernur, di Jalan Gajah Mada.
“Baik.
Mari kita berangkat,” jawab Alwy. Baru saja melangkah ke luar kantor, mata Alwy
tertuju ke kaki reporter mudanya itu. Dia menemukan ada yang gasal. “Enggak
salah, kamu? Mau ketemu Gubernur pakai sandal jepit? Ganti pakai sepatu dulu,
baru kita berangkat,” sergah Alwy. Walhasil, rencana bertemu Gubernur gagal
hari itu. Pertemuan pun berganti beberapa hari setelahnya.
***
DETIK berganti menit,
jam bersekutu dengan hari, dan bulan bersalin dalam tahun. Pasangan guru-murid
di dunia jurnalistik itu kian rekat. Alwy begitu nyaman dengan Dahlan yang
ceplas-ceplos tetapi sangat tekun dan bersemangat mencari berita.
Pada
suatu siang yang terik di Samarinda, Dahlan berkeliling kota. Sebagai reporter
andalan, dia tidak ditempatkan di suatu pos. Memang pun, tidak ada pos-pos tertentu
bagi wartawan di masa itu. Sebab, Samarinda tidak sebesar sekarang sehingga
masih bisa mengelilinginya dengan bersepeda dalam waktu tak terlampau lama.
Dahlan
memburu berita di rumah sakit dan tidak menemukan kejadian. Beranjak ke kantor
polisi dan Gubernuran, tiada hal yang layak untuk disajikan di surat kabar. Akhirnya,
dia menuju kantor Mimbar Masyarakat. Otaknya mulai berpikir apa kiranya yang akan
diketik.
Tetapi
jiwa jurnalis Dahlan yang waktu itu telah “pensiun” dari kuliahnya sangat kuat.
Dia mendapat inspirasi. Menghadapi mesin ketik, Dahlan segera menulis sebuah
berita. Judulnya kira-kira seperti ini, “Tumben, Tidak Ada Kejadian di
Samarinda”.
Di
suatu malam lainnya, Alwy dan Dahlan asyik bercengkerama. Percakapan yang tidak
terlampau serius sampai ketika Alwy melontarkan kalimat, “Ding, baik jika selain mencari berita, cari jugalah iklan dan
pelanggan untuk koran kita.” (Ding,
panggilan kepada adik dalam bahasa Banjar).
Mendengar
itu, Dahlan spontan menyanggah. Dia menolak mentah-mentah. “Ini yang saya tidak
setuju. Jangan wartawan dengan idealismenya dicampuri urusan bisnis. Jangan
sekali-sekali seperti itu,” timpal Dahlan, kemudian melanjutkan dengan suara
yang makin meninggi, “Nanti, jika menerima sesuatu (dari narasumber), hasil
wawancara tidak lagi murni!”
Alwy
tidak membalas lagi argumen itu. Dalam hatinya dia menyesal menyampaikan hal
itu sekaligus bangga. Bangga karena Dahlan yang direkrut dengan keidealisannya masih
seidealis kala dia dikejar-kejar militer dulu. “Oh, begitu,” jawab Alwy,
singkat. Sesingkat pembicaraan yang akhirnya usai pada malam itu. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar