Jumat, 22 Februari 2013

(2) Dahlan Iskan Tempo Doeloe di Samarinda: Sandal Jepit si Idealis


”Jangan Idealis Jurnalis Dicampuri Urusan Bisnis!”




Dahlan Iskan bilang, semua petinggi PLN dulunya sama seperti dirinya yang demonstran jalanan. Ketika duduk di posisi penting, idealisme itu mesti dijaga. Ini memang soal idealis dan begitulah dia sejak dahulu. Dahlan Iskan bilang, tetap memakai sepatu kets walau sudah jadi menteri. Ini soal kesederhanaan dan begitulah dia sejak dahulu. 




KANTOR media yang bangunannya tidak mirip kantor itu berwujud di Jalan Hidayatullah, Samarinda. Sayid Alwy AS adalah pengelola surat kabar mingguan bernama Mimbar Masyarakat tersebut. Dia baru saja “merekrut” wartawan muda bernama Dahlan Iskan pada 1974.

Kantor Mimbar Masyarakat juga menjadi sekretariat Komite Nasional Pemuda Indonesia. Alwy juga ketua organisasi itu. Dulunya, bangunan bercat putih ini adalah mes pemerintah. Bentuknya memanjang ke belakang dengan sederet kamar. Di halamannya yang jembar terparkir sepeda para wartawan. 

Ruangan paling depan diubah menjadi kantor. Sebuah meja tata usaha dan kasir yang mengurus keuangan di bagian paling depan. Sedikit ke dalam, meja pemimpin redaksi yang tak lain adalah Alwy, bersanding dengan meja wartawan. 


TINGGAL KENANGAN: Kantor KNPI Kaltim sudah terbakar. Pernah menjadi kantor pertama Dahlan Iskan di Mimbar Masyarakat.


Zaman itu, mencetak koran bukan perkara mudah. Huruf-huruf disusun dengan alat tempel aksara bernama letter. Sedangkan negatif foto dikirim ke Surabaya demi mendapatkan citra sempurna. Waktunya bisa berminggu-minggu. Walhasil, Mimbar Masyarakat tidak pernah menampilkan foto update. Alwy mengakalinya dengan memasang foto dokumentasi yang kira-kira berkaitan dengan berita apa yang akan diterbitkan di edisi terbaru.

Untuk mencetak koran, Alwy harus mengirim salinan halaman ke Percetakan Negara di Balikpapan. Jalan Soekarno Hatta yang sekarang menghubungkan Samarinda dan Balikpapan, belum ada waktu itu. Untuk ke Kota Minyak, harus naik kapal ke muara Sungai Mahakam lalu mendarat di kawasan Handil, Kutai (sekarang Kutai Kartanegara). Dari situ, dilanjutkan perjalanan darat sekitar 60 kilometer ke Balikpapan.

Kendati sulit mencetak surat kabar, Mimbar Masyarakat sebagai satu-satunya media cetak  yang berani mengkritik, laku keras di Samarinda. Dalam tempo singkat, mingguan dengan 10 halaman zebra alias hitam putih selebar tujuh kolom itu oplahnya mencapai tiga ribu. 

Editorial yang dibuat Alwy, menjadi sukaan Gubernur Kaltim Abdoel Wahab Sjahranie. Isinya seputar permasalahan provinsi. Dan Alwy menjadi sangat dekat dengan Gubernur yang namanya diabadikan sebagai nama rumah sakit terbesar di Kaltim itu. Boleh dibilang, dia adalah teman berdiskusi sang pemimpin. 

Dahlan kemudian bergabung di Mimbar Masyarakat setelah dia mengeluh kepada Alwy karena dikejar-kejar militer dalam demonstrasi Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) di Samarinda. Sudah ada dua puluh wartawan di media itu ketika Dahlan yang mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Samarinda ini bergabung pada 1974. Redaktur pelaksananya waktu itu Almarhum Syuhainie Zakaria. 

Di situ, Alwy menyampaikan dasar-dasar jurnalistik seperti kode etik, kelengkapan unsur berita, kejelasan sumber, mengolah lead, sampai keberimbangan berita kepada Dahlan. Tidak perlu waktu lama memindah-ilmu karena Dahlan memiliki naluri jurnalistik di atas rata-rata.


***


ALWY dan Dahlan datang ke Gubernuran Kaltim, beberapa bulan setelah profesi wartawan melekat pada pemuda itu. Mereka menemui Letkol Sayid Syekh, kepala Biro Sosial dan Politik Sekretariat Provinsi di sebuah ruangan di lantai dua. Sayid adalah kenalan lama Alwy.
“Tolong, Pak, kawan saya ini jangan lagi dicari-cari (militer),” kata Alwy, mengutarakan maksudnya. Dahlan yang di ruangan itu mimiknya datar. Tidak ada ekspresi sedikit pun. “Soal Malari. Dia sekarang ikut saya jadi wartawan. Kalau ada apa-apa, saya yang jadi jaminan,” lontar Alwy lagi (tentang Malari, silakan baca bagian pertama tulisan ini). 

Mendengar itu, Sayid sejenak terdiam. Sebagai teman lama, dia tahu benar siapa Alwy. Dia percaya benar sahabatnya itu. “Baik. Saya sampaikan ke atasan,” kata Sayid, mengabulkan permintaan Alwy.

Setelah bercengkerama tentang beberapa hal lainnya, kedua jurnalis itu ke luar ruangan. Alwy masih ingat benar, tidak ada yang berubah dari ekspresi Dahlan. Rautnya tetap biasa. Tapi dalam hatinya Alwy tahu, pemuda yang dianggap adiknya itu mendapatkan sebuah kelegaan. 


***


“BESOK, kita bertemu Gubernur Sjahranie,” ajak Alwy, pemimpin redaksi surat kabar mingguan Mimbar Masyarakat. Mata Dahlan, wartawan muda yang mendengar ajakan itu berbinar. 

Sebagai wartawan senior di Samarinda, Alwy kerap bertemu dengan Sjahranie. Banyak hal, terutama pembangunan di Kaltim yang mereka diskusikan. Dalam setiap perjalanan Gubernur ke pedalaman, Alwy tidak akan tidak turut serta.

Di masa Sjahranie pula sejumlah proyek besar dimulai. Sjahranie adalah penggagas Proyek Jalan Kalimantan (Projakal) mulai perbatasan Kalimantan Selatan di Paser hingga tembus Samarinda.

Gubernur itu juga menyediakan berhektare lahan bagi Universitas Mulawarman, di Gunung Kelua, Samarinda. Dia menggagas agar TVRI, stasiun televisi pemerintah yang sebelumnya berpusat di Balikpapan, bisa siaran di Samarinda. Termasuk pula, lahan rumah sakit umum yang kini memakai nama sang Gubernur, di Jalan Dr Soetomo. 

Hari itu, Alwy mengajak Dahlan berdiskusi ringan dengan Gubernur. Sampai tiba hari pertemuan yang dinanti,  sesuai janji, Dahlan menemui Alwy di kantor Mimbar Masyarakat pada suatu pagi. “Saya sudah siap, Kak,” kata Dahlan, seolah ganti mengajak Alwy supaya cepat-cepat ke Lamin Etam --kantor Gubernur, di Jalan Gajah Mada. 

“Baik. Mari kita berangkat,” jawab Alwy. Baru saja melangkah ke luar kantor, mata Alwy tertuju ke kaki reporter mudanya itu. Dia menemukan ada yang gasal. “Enggak salah, kamu? Mau ketemu Gubernur pakai sandal jepit? Ganti pakai sepatu dulu, baru kita berangkat,” sergah Alwy. Walhasil, rencana bertemu Gubernur gagal hari itu. Pertemuan pun berganti beberapa hari setelahnya. 


***


DETIK berganti menit, jam bersekutu dengan hari, dan bulan bersalin dalam tahun. Pasangan guru-murid di dunia jurnalistik itu kian rekat. Alwy begitu nyaman dengan Dahlan yang ceplas-ceplos tetapi sangat tekun dan bersemangat mencari berita. 

Pada suatu siang yang terik di Samarinda, Dahlan berkeliling kota. Sebagai reporter andalan, dia tidak ditempatkan di suatu pos. Memang pun, tidak ada pos-pos tertentu bagi wartawan di masa itu. Sebab, Samarinda tidak sebesar sekarang sehingga masih bisa mengelilinginya dengan bersepeda dalam waktu tak terlampau lama. 

Dahlan memburu berita di rumah sakit dan tidak menemukan kejadian. Beranjak ke kantor polisi dan Gubernuran, tiada hal yang layak untuk disajikan di surat kabar. Akhirnya, dia menuju kantor Mimbar Masyarakat. Otaknya mulai berpikir apa kiranya yang akan diketik. 

Tetapi jiwa jurnalis Dahlan yang waktu itu telah “pensiun” dari kuliahnya sangat kuat. Dia mendapat inspirasi. Menghadapi mesin ketik, Dahlan segera menulis sebuah berita. Judulnya kira-kira seperti ini, “Tumben, Tidak Ada Kejadian di Samarinda”. 

Di suatu malam lainnya, Alwy dan Dahlan asyik bercengkerama. Percakapan yang tidak terlampau serius sampai ketika Alwy melontarkan kalimat, “Ding, baik jika selain mencari berita, cari jugalah iklan dan pelanggan untuk koran kita.” (Ding, panggilan kepada adik dalam bahasa Banjar). 

Mendengar itu, Dahlan spontan menyanggah. Dia menolak mentah-mentah. “Ini yang saya tidak setuju. Jangan wartawan dengan idealismenya dicampuri urusan bisnis. Jangan sekali-sekali seperti itu,” timpal Dahlan, kemudian melanjutkan dengan suara yang makin meninggi, “Nanti, jika menerima sesuatu (dari narasumber), hasil wawancara tidak lagi murni!” 

Alwy tidak membalas lagi argumen itu. Dalam hatinya dia menyesal menyampaikan hal itu sekaligus bangga. Bangga karena Dahlan yang direkrut dengan keidealisannya masih seidealis kala dia dikejar-kejar militer dulu. “Oh, begitu,” jawab Alwy, singkat. Sesingkat pembicaraan yang akhirnya usai pada malam itu. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar