Program Magang
yang Jadi Pintu Gerbang
Setiap orang
punya jalan. Setiap orang punya garis kehidupan. Tapi tak semua orang mampu
membukakan jalan dan garis kehidupan itu bagi seorang lainnya, seperti yang
dilakukan Alwy kepada Dahlan Iskan.
LEMBAGA Penelitian,
Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi Sosial baru saja didirikan pada 1975 di
Jakarta. Sayid Alwy AS, wartawan senior dari Kaltim hadir di seremoni itu. Di
sana, dia bertemu teman sesama pemimpin redaksi. Amir Daud namanya, pemred
surat kabar berbahasa Inggris.
“Wartawan
di Kaltim masih betul-betul alamiah. Bagaimana caranya, ya, supaya ada
peningkatan?” Alwy bertanya kepada sahabatnya. Sampai suatu saat, jawaban pun
didapat. Lewat LP3ES, program pelatihan wartawan dibuka. Wartawan dari Kaltim,
dikirim ke sejumlah media nasional.
Dari
Mimbar Masyarakat, koran mingguan milik Alwy, sejumlah nama disebar. Masdari
Achmad (almarhum) yang pernah menjadi wartawan senior di RRI Samarinda, dikirim
ke surat kabar Suara Karya. Syahrani Dansul, dikirim ke Sinar Harapan, dan
Ibrahimsyah ke Kompas. Sementara si reporter muda yang sudah dianggap adik oleh
Alwy, Dahlan Iskan, mendapat kesempatan magang selama tiga bulan di majalah
Tempo.
Sebelum
ke Ibu Kota, Dahlan mengadakan kenduri, menikahi juita pujaannya, Nafsiah Sabri,
gadis dari Loa Kulu, Kutai Kartanegara.
Selama
di majalah itu, dunia jurnalistik Dahlan kian menjadi-jadi. Tulisannya yang
berkarakter memberi warna tersendiri sehingga mengundang lirikan petinggi
majalah yang pernah diberedel pada masa Orde Baru tersebut.
Ketika
masa magangnya selesai, Dahlan, kembali ke Borneo. Sebelum pulang, dia sempat ditawari
menjadi reporter Tempo.
Sesampainya
di Samarinda, Dahlan kembali menjalankan tugasnya sebagai jurutinta di Mimbar
Masyarakat. Alwy, sudah mulai aktif terjun di berbagai organisasi. Dia menjadi
sekretaris Komite Nasional Pemuda Indonesia dan beberapa saat kemudian naik
sebagai ketua.
Namun
begitu, tugas-tugasnya sebagai pemred tetap dijalankan. Di sela-sela kerja
redaksi, Dahlan menemuinya. “Saya ditawari kerja di Tempo,” ungkap Dahlan,
membuka pembicaraan. Alwy lantas menanyakan, berapa dia digaji di sana.
“Seratus lima puluh ribu,” balas Dahlan. Waktu itu, sedan merek Toyota Corona
masih Rp 1 juta. Sedangkan gaji Dahlan di Mimbar Masyarakat adalah Rp 50 ribu
sebulan.
Alwy
sejenak diam. Dalam sunyinya, dia memikirkan karier Dahlan. Sorotan mata yang
tajam masih sama ketika Dahlan mengadukan masalahnya dulu yang dikejar militer.
Sorotan itu menggelorakan rasa yang begitu kuat.
Alwy
melihat sekumpulan tekad dan ketekunan jauh di dalam tatapannya. Sejenak
kemudian, ketika kata-kata telah terangkai rapi menjadi kalimat di kepalanya,
Alwy berkata, “Wah bagus itu. Demi masa depanmu, tinggalkan saya. Gajimu besar
di sana. Sebesar kariermu nanti.”
Hari
perpisahan tiba juga. Dahlan berangkat ke Jakarta dan memulai karier di Tempo.
Baru dua tahun, Dahlan sudah dikirim ke Lebanon dan menyajikan reportase perang
yang memukau. Dalam hatinya, Alwy merasa begitu bangga. Dalam hatinya pula dia
berkata, “Anggaplah saya ini dipakai Tuhan sebagai tangan untuk merintis
kader-kader dan calon wartawan berkaliber.”
PUNYA BANYAK CERITA: Dahlan Iskan dalam peresmian PLTU Embalut, Kukar. Masih sering pulang kampung ke Kaltim. |
***
KORAN adalah garis
tangan Dahlan. Demikian pendapat Alwy ketika ditemui Kaltim Post di kediamannya, belum lama ini di Jalan M Yamin,
Samarinda. Ketika bersama Erick Samola menangani Jawa Pos dan menaikkan
tirasnya berkali-kali lipat, Alwy semakin yakin hal itu.
Selain
Dahlan, ada beberapa nama lain yang pernah menjadi reporter Mimbar Masyarakat.
Satu di antaranya, Rizal Effendi, yang kemudian menjadi koresponden Tempo pada medio
80-an. Rizal juga menjadi pemimpin redaksi Manuntung, koran yang dirintis Alwy
bersama Wali Kota Balikpapan Zaenal Ariffin. Manuntung kemudian diakuisisi Jawa
Pos dan namanya berganti menjadi Kaltim Post. Kini, Rizal sudah menjadi wali
kota Balikpapan.
Jika
melihat kader-kader itu, Alwy tidak pernah menyesal melepas mereka dari Mimbar
Masyarakat. “Saya berani melepas karena ingin melihat anak-anak muda itu maju.
Biarlah saya seperti seorang guru SD yang tetap menjadi guru walaupun muridnya
sudah menjadi orang hebat,” gumam Alwy pada suatu ketika.
Pun
demikian, ayah empat anak itu tidak pernah mengaku-ngaku sebagai seorang guru.
Justru dia yang sering dibanggakan Dahlan. Ketika suatu hari Alwy diajak ke
ruang redaksi Jawa Pos di Graha Pena, Surabaya, di depan para redaktur,
reporter, dan layouter, Dahlan
berkata, “Ini Pak Alwy. Guru yang membimbing saya menjadi wartawan.”
Suasana
yang bagi Alwy sungguh mengharukan. Suasana yang membuat dia terkenang memoar
37 warsa silam. Suasana yang tidak pernah bisa dilupakannya. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar