Jumat, 22 Februari 2013

(3) Dahlan Iskan Tempo Doeloe di Samarinda: Sebuah Kerelaan

Program Magang yang Jadi Pintu Gerbang 



Setiap orang punya jalan. Setiap orang punya garis kehidupan. Tapi tak semua orang mampu membukakan jalan dan garis kehidupan itu bagi seorang lainnya, seperti yang dilakukan Alwy kepada Dahlan Iskan.



LEMBAGA Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi Sosial baru saja didirikan pada 1975 di Jakarta. Sayid Alwy AS, wartawan senior dari Kaltim hadir di seremoni itu. Di sana, dia bertemu teman sesama pemimpin redaksi. Amir Daud namanya, pemred surat kabar berbahasa Inggris. 

“Wartawan di Kaltim masih betul-betul alamiah. Bagaimana caranya, ya, supaya ada peningkatan?” Alwy bertanya kepada sahabatnya. Sampai suatu saat, jawaban pun didapat. Lewat LP3ES, program pelatihan wartawan dibuka. Wartawan dari Kaltim, dikirim ke sejumlah media nasional.

Dari Mimbar Masyarakat, koran mingguan milik Alwy, sejumlah nama disebar. Masdari Achmad (almarhum) yang pernah menjadi wartawan senior di RRI Samarinda, dikirim ke surat kabar Suara Karya. Syahrani Dansul, dikirim ke Sinar Harapan, dan Ibrahimsyah ke Kompas. Sementara si reporter muda yang sudah dianggap adik oleh Alwy, Dahlan Iskan, mendapat kesempatan magang selama tiga bulan di majalah Tempo. 

Sebelum ke Ibu Kota, Dahlan mengadakan kenduri, menikahi juita pujaannya, Nafsiah Sabri, gadis dari Loa Kulu, Kutai Kartanegara.

Selama di majalah itu, dunia jurnalistik Dahlan kian menjadi-jadi. Tulisannya yang berkarakter memberi warna tersendiri sehingga mengundang lirikan petinggi majalah yang pernah diberedel pada masa Orde Baru tersebut. 

Ketika masa magangnya selesai, Dahlan, kembali ke Borneo. Sebelum pulang, dia sempat ditawari menjadi reporter Tempo. 

Sesampainya di Samarinda, Dahlan kembali menjalankan tugasnya sebagai jurutinta di Mimbar Masyarakat. Alwy, sudah mulai aktif terjun di berbagai organisasi. Dia menjadi sekretaris Komite Nasional Pemuda Indonesia dan beberapa saat kemudian naik sebagai ketua.

Namun begitu, tugas-tugasnya sebagai pemred tetap dijalankan. Di sela-sela kerja redaksi, Dahlan menemuinya. “Saya ditawari kerja di Tempo,” ungkap Dahlan, membuka pembicaraan. Alwy lantas menanyakan, berapa dia digaji di sana. “Seratus lima puluh ribu,” balas Dahlan. Waktu itu, sedan merek Toyota Corona masih Rp 1 juta. Sedangkan gaji Dahlan di Mimbar Masyarakat adalah Rp 50 ribu sebulan.

Alwy sejenak diam. Dalam sunyinya, dia memikirkan karier Dahlan. Sorotan mata yang tajam masih sama ketika Dahlan mengadukan masalahnya dulu yang dikejar militer. Sorotan itu menggelorakan rasa yang begitu kuat.

Alwy melihat sekumpulan tekad dan ketekunan jauh di dalam tatapannya. Sejenak kemudian, ketika kata-kata telah terangkai rapi menjadi kalimat di kepalanya, Alwy berkata, “Wah bagus itu. Demi masa depanmu, tinggalkan saya. Gajimu besar di sana. Sebesar kariermu nanti.”

Hari perpisahan tiba juga. Dahlan berangkat ke Jakarta dan memulai karier di Tempo. Baru dua tahun, Dahlan sudah dikirim ke Lebanon dan menyajikan reportase perang yang memukau. Dalam hatinya, Alwy merasa begitu bangga. Dalam hatinya pula dia berkata, “Anggaplah saya ini dipakai Tuhan sebagai tangan untuk merintis kader-kader dan calon wartawan berkaliber.”

PUNYA BANYAK CERITA: Dahlan Iskan dalam peresmian PLTU Embalut, Kukar. Masih sering pulang kampung ke Kaltim.

 
***


KORAN adalah garis tangan Dahlan. Demikian pendapat Alwy ketika ditemui Kaltim Post di kediamannya, belum lama ini di Jalan M Yamin, Samarinda. Ketika bersama Erick Samola menangani Jawa Pos dan menaikkan tirasnya berkali-kali lipat, Alwy semakin yakin hal itu. 

Selain Dahlan, ada beberapa nama lain yang pernah menjadi reporter Mimbar Masyarakat. Satu di antaranya, Rizal Effendi, yang kemudian menjadi koresponden Tempo pada medio 80-an. Rizal juga menjadi pemimpin redaksi Manuntung, koran yang dirintis Alwy bersama Wali Kota Balikpapan Zaenal Ariffin. Manuntung kemudian diakuisisi Jawa Pos dan namanya berganti menjadi Kaltim Post. Kini, Rizal sudah menjadi wali kota Balikpapan. 

Jika melihat kader-kader itu, Alwy tidak pernah menyesal melepas mereka dari Mimbar Masyarakat. “Saya berani melepas karena ingin melihat anak-anak muda itu maju. Biarlah saya seperti seorang guru SD yang tetap menjadi guru walaupun muridnya sudah menjadi orang hebat,” gumam Alwy pada suatu ketika.

Pun demikian, ayah empat anak itu tidak pernah mengaku-ngaku sebagai seorang guru. Justru dia yang sering dibanggakan Dahlan. Ketika suatu hari Alwy diajak ke ruang redaksi Jawa Pos di Graha Pena, Surabaya, di depan para redaktur, reporter, dan layouter, Dahlan berkata, “Ini Pak Alwy. Guru yang membimbing saya menjadi wartawan.” 

Suasana yang bagi Alwy sungguh mengharukan. Suasana yang membuat dia terkenang memoar 37 warsa silam. Suasana yang tidak pernah bisa dilupakannya. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar